telusur.co.id - Pengamat Intelijen dan Keamanan Stanislaus Riyanta mengatakan, saat ini gerakan kelompok terorisme telah merubah pola gerakan, dari sifatnya yang murni dengan kekerasan, menjadi lebih lunak dan terkesan tanpa kekerasan. Hal itulah yang membuat terduga teroris terlihat seperti warga biasa.
Hal itu disampaikan Stanislaus saat berbicara dalam Webinar bertajuk "Menilik Radikalisme dan Menakar Kebebasan Berekspresi di Ruang Publik" yang diselenggarakan oleh Pemuda Moeslim Jayakarta didukung Inisiatif News via ZOOM Meeting, Rabu (16/2/22).
"Kalau mereka hanya menggunakan cara kekerasan seperti bom dan lain-lain, akan merugikan mereka. Mereka mengubah strategi menjadi soft, jadi bisa menyusup ke masyarakat banyak, ke posisi strategis. Ke BUMN, organisasi dan sebagainya. Dan ini justru berbahaya, karena tidak diketahui dan kurang diwaspadai," kata Stanislaus.
Menurut Stanislaus, kinerja Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror sudah cukup baik dengan menangkap pelaku terorisme. Karena kalau tidak ditangkap, pasti akan banyak aksi teror yang terjadi. Didukung juga dengan UU no. 25/2015, ini termasuk pencegahan.
"Tapi mencegah terorisme tidak cukup dengan aparat, melainkan juga melibatkan masyarakat. Yang terdekat, keluarga dan masyarakat, ini yang mengetahui pertama, dan bisa mencegah sedini mungkin. Jadi harus sinergi dengan masyarakat, diberi edukasi pendeteksian dini, lalu quick respon. Karena jumlah aparat tidak cukup, harus dioptimalisasikan dengan pelibatan yang lebih masif dari masyarakat," bebernya.
Stanislaus menjelaskan, jika bicara kelompok radikal, ini adalah masalah pemikiran, bukan fisik. Karenanya, harus ada dialog, lalu pembicaraan aksi. Dikatakannya, kelompok radikal ini memang melakukan hal wajar agar bisa masuk ke masyarakat, setelah dipercaya baru mereka melakukan radikalisasi dan doktrinasi.
"Dan perubahan strategi inilah yang membuat terduga teroris yang ditangkap seakan biasa saja dan bahkan keluarganya kaget. Biasanya tidak akan terlihat secara fisik," terangnya.
Untuk mengetahui apakah seseorang terpapar radikalisme, kata dia, bisa dilihat dari apa yang mereka buka ketika browsing internet, temannya siapa dan sebagainya. Jadi, lanjut dia, aksi teror saat ini lebih ke sel keluaraga, bukan kelompok besar.
"Kalau kelompok JI dan JAD akan terpantau dan terlihat. Maka dari itu akhir-ahir ini teror berasal dari sel keluarga, sel kecil agar tidak terlihat jelas dan tidak terdeteksi," ungkapnya.
"Jadi kelompok ini beradaptasi. Adaptasi ini yang harus diikuti, ketika beraktivitas di masyarakat, Masyarakat harus dikuatkan. Jangan sampai kalau kelewatan maka akan kecolongan dia melakukan aksi. Jangan sampai nanti mereka melakukan aksi malah dipuji karena kesehariannya baik," sambungnya.
Terkait soal kebebasan berpendapat, Stanislaus mengatakan, Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang majemuk. Karenanya, dalam berkomunikasi harus mengedepankan etika.
"Kita hidup majemuk, jadi kita harus punya etika komunikasi, juga kita berkewajiban mematuhi peraturan yang ada sebagai warga negara," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan Habib Syakur Ali Mahdi Alhamid mengatakan, MUajelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang menjadi wadahnya para ulama harus selalu melakukan evaluasi dan mengaudit wilayah bawahannya. Dia mengaku prihatin ada pelaku tindak terorisme yang ditangkap Densus 88 ada yang berasal dari MUI.
"Harus kita pahami bahwa prinsip radikalisme secara halus masuk ke berbagai lini bermasyarakat dan negara. Nah, seharusnya MUI menjadi garda terdepan untuk memfilter masyarakat dari pengaruh radikalisme dan intoleran. Kita tarik benang merahnya bahwa pelaku radikalisme ingin menunjukkan bahwa mereka ini secara terstruktur bisa membaur dan menyebarkan paham," urainya.
Habib Syakur juga menyayangkan, ada terduga terorisme yang ditangkap adalah aktivis partai politik. Karenanya, dia mengapresiasi langkah Densus 88 yang bekerja cepat mengambil kesimpulan dan bertindak secara nyata.
"Maka Densus 88 ini sebagai kesatuan khusus yang membuat rakyat menjadi tenang dan nyaman untuk mengatasi tindak pidana radikalisme dan terorisme," tuturnya.
"Seyogyanya masyarakat harus melihat secara jernih bahwa Densus 88 tidak ada kompromi dengan siapapun dan golongan apapun, yang nyata mereka melakukan tindak terorisme. Masyarakat dan pemerintah harus membaur menjadi satu untuk mewaspadai tumbuh kembangnya radikalisme dan intoleran," tambahnya.
Lebih lanjut Habib Syakur menjelaskan, kebebasan berekspresi dan berpendapat seluruh masyarakat dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini juga dimanfaatkan para simpatisan radikalisme dan intoleran untuk berbicara menggunakan berbagai media.
"Mereka berlindung atas nama kebebasan berpendapat dan demokrasi," ungkapnya.
Meski demikian, kata dia, hari demi hari keberadaan perilaku radikalisme dan intoleran mulai dikikis dan diusir dari warga masyarakat.
"Masyarakat semakin rukun, bersama TNI-POLRI untuk memberantas radikalisme dan intoleran. Khususnya kita bersatu dan bergandengan tangan untuk mewujudkan Indonesia hebat," pungkasnya. [Tp]