Pemerintah Diduga Binggung Sendiri Atas Kebijakan PSBB Dan Berdamai Dengan Corona - Telusur

Pemerintah Diduga Binggung Sendiri Atas Kebijakan PSBB Dan Berdamai Dengan Corona


telusur.co.id - Anggota Komisi I DPR Sukamta menilai, kebijakan PSBB yang dibuat pemerintah  kemudian dilonggarkan, sepertinya sejak awal memang tidak berdasarkan data dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena, pemerintah menganggap opsi PSBB lebih sesuai dengan budaya Indonesia ketimbang kebijakan karantina wilayah.

"Ternyata setelah PSBB berjalan di beberapa daerah, banyak kegiatan ekonomi masyarakat yang terganggu. Bahkan di daerah yang tidak diberlakukan PSBB pun ekonomi terganggu," kata Sukamta dalam keterangannya, Senin (18/5/20).

Sukamta menjelaskan, kebijakan PSBB yang ditempuh pemerintah menunjukkan masih sisakan 2 masalah besar, yakni tidak mampu kendalikan penyebaran Covid-19 karena hingga saat ini data penambahan kasus positif belum menunjukkan kurva landai. Kemudian, kebijakan itu juga tidak mampu selamatkan ekonomi masyarakat sebagaimana alasan ini digunakan untuk tetapkan kebijakan PSBB. 

"Saya kira ini menunjukkan pemerintah tidak tahu mana yang prioritas untuk ditangani, pinginnya semua bisa diatasi tetapi malah nggak dapat dua-duanya," sindir Sukamta.

Lebih lanjut, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menganggap, wacana yang dikeluarkan oleh pemerintah baik soal relaksasi PSBB dan berdamai dengan virus corona tidak didasarkan kepada data-data yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. 

Ia menduga Pemerintah saat ini sedang mengalami kebingungan. Karena, setelah berjalan 2,5 bulan sejak kasus positif pertama diumumkan, Covid-19 telah menyebar merata ke seluruh provinsi dan hampir 400 kab/kota di Indonesia yang membuat skema penanganan menjadi lebih rumit lantaran kondisikesehatan di daerah tidak sama. Sementara anggaran penanganan diskenariokan hanya untuk 3-6 bulan, ini bisa dilihat dari skema bansos jaring pengaman seperti BLT Desa untuk durasi 3 bulan seperti info Menko PMK dialokasikan kepada 12,3 juta KK penerima manfaat, sebesar Rp600.000 per bulan mulai dari April sampai Juni 2020.

"Jangan-jangan anggaran pemerintah untuk jaring pengaman sosial memang sudah habis hingga bulan Juni, sehingga wacana pelonggaran sering dimunculkan. Kan kacau jika ini yang sesungguhnya terjadi," duga Sukamta. 

Menunurt Sukamta, jika pemerintah mau serius jalankan skenario "new normal",  ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi. Pertama, harus dipastikan kurva perkembangan Covid-19 landai secara stabil sebagai hasil tes swab yang dilakukan secara optimal dan penanganan secara kesehatan secara maksimal. Kedua, dipastikan seluruh masyarakat mengetahui protokol kesehatan yang harus dijalankan dengan senantiasa menjaga jarak, mengenakan masker dan rajin mencuci tangan. 

Ketiga, dipastikan jumlah rumah sakit dengan sarpras ruang isolasinya berjumlah cukup untuk antisipasi lonjakan pasien yang mungkin terjadi jika dilakukan pelonggaran. Keempat, pemerintah memastikan ketercukupan jumlah APD untuk tenaga medis dan masker untuk kebutuhan masyarakat. 

"Pertanyaannya, apakah sudah terpenuhi kesemua syarat tersebut, jika belum sangat riskan kebijakan pelonggaran dilakukan. Pemerintah semestinya merujuk sepenuhnya kepada pendapat para ahli di bidang kesehatan dan epidemiologi dalam membuat kebijakan yang terkait penanganan Covid-19, bukan para pembisik yang punya kepentingan ekonomi sesaat," tukasnya.[Fhr]


Tinggalkan Komentar