telusur.co.id -Sejarah bukan sebuah kesinambungan, ia penuh retakan dan patahan.” Foucault
Sejarah peradaban selalu ditandai oleh lompatan teknologi yang mengguncang struktur sosial dan perubahan politik. Revolusi industri di abad 18 melahirkan kapitalisme industri sekaligus menjadi katalisator perubahan sistem politik di Eropa pada abad 19. Ironisnya, kapitalisme yang selama dua abad terakhir menjadi sistem dominan, justru mulai merasakan senjakala akibat ciptaannya sendiri. AI yang dikembangkan untuk memaksimalkan keuntungan malah kemampuannya berpotensi jauh melampaui kecerdasan manusia berdasar hukum Moore. Sehingga menjadi perdebatan keras di kalangan elit global, karena akan mendisrupsi basis kapitalisme: tenaga kerja manusia.
Yanis Varoufakis menyebut kapitalisme sudah selesai, dunia masuk pada era tekno-feodalisme yang dikuasai oleh sekelompok korporasi bigtech dengan perkebunan data center di seluruh dunia. Di tengah transisi ini, muncul paradoks eksistensi AI disertai tawaran konsep pendapatan dasar universal (UBI), yang menantang pondasi ekonomi dan sosial dunia.
Perlombaan AI dan Lahirnya Oligarki Teknologi
Sejarah panjang perkembangan AI, mengalami quantum leap dalam tiga tahun terakhir pasca dirilisnya ChatGPT oleh OpenAI. Perlombaan keras pengembangan AI terjadi baik di level negara antara AS dan China, maupun antarkorporasi. Perlombaan ini bukan lagi sekadar inovasi, melainkan kekuasaan, sebuah sprint menuju Artificial General Intelligence (AGI) dan bahkan Artificial Superintelligence (AIS) untuk mendominasi sekaligus menghegemoni dunia, sekarang dan masa depan.
Di balik perlombaan ini, kapitalisme global menunjukkan sifatnya yang paling akut: persaingan ketat di antara para raksasa teknologi — Google, OpenAI, Meta, Tesla, Baidu, Tencent dll berinvestasi triliunan dolar untuk menjadi yang pertama menguasai AGI pada rentang 2027-2030. Siapa pun yang lebih dulu mencapai AGI akan menguasai pengetahuan, dan bahkan memanipulasi realitas. Ini bukan lagi tentang kapitalisme liberal yang berlandaskan pasar bebas —- dalam realitas AI, pasar tidak bebas, ia terkonsentrasi di genggaman kelompok korporasi. — Bayangkan! Hanya seorang/kelompok misterius bernama Satoshi Nakamoto, karena kemarahan terhadap keserakahan sistem, mengguncang sekaligus menjadi game changer sistem keuangan global dengan merilis karyanya Bitcoin sebanyak 21 juta keping beserta sistem blockchain-nya pada 2009 yang di awal kehadirannya tidak diperhitungkan, namun kini valuasinya menjadi 2,24 triliun dolar hampir mendekati GDP Inggris tahun 2024 sebesar 2,67 triliun dolar (GlobalPeoServices) — bayangkan seperti apa wajah dunia dari ambisi ultrastrategis para korporasi raksasa teknologi tersebut?!
Fenomena ini oleh beberapa sosiolog disebut sebagai tekno-feodalisme. Jika feodalisme di masa lalu adalah sistem di mana tuan tanah menguasai tanah dan buruh tani, maka tekno-feodalisme adalah sistem di mana sekelompok kecil "tuan-tuan teknologi" menguasai perkebunan data center, algoritma, dan superkomputer. Sementara mayoritas manusia menjadi pengguna pasif yang tidak memiliki otoritas. Dalam skenario ini, kekuasaan tidak lagi berasal dari modal finansial atau tanah, tetapi dari algoritma dan data. Ini adalah ancaman nyata terhadap demokrasi dan kedaulatan, karena keputusan-keputusan penting tidak lagi dibuat oleh sistem demokrasi, melainkan oleh elit korporasi teknologi.
Paradoks AI
AI dipandang sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjanjikan efisiensi luar biasa, pertumbuhan ekonomi tak terbatas, dan solusi untuk berbagai masalah global, dari penyakit, material baru, energi bersih, hingga perubahan iklim. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur pendukung AI merusak ekologi (Karen Hao, Empire of AI) dan berpotensi memusnahkan 30% lapangan pekerjaan di dunia rentang waktu 2016-2030 (McKinsey & Company, 1 Juni 2018) riset dilakukan saat kemajuan dramatis AI belum seperti tahun 2022. Di saat dunia sedang bergerak dari AI tools menjadi AGI, maka fondasi ekonomi yang didasarkan pada upah dan kerja akan runtuh, maka pertanyaan mendasar pun muncul: apa peran sejarah manusia di era AGI?
UBI: Solusi Semu atau Realitas Baru?
Pendapatan dasar universal, di mana setiap warga negara menerima sejumlah uang secara reguler tanpa syarat, seringkali diajukan sebagai jawaban atas disrupsi yang dibawa oleh AI. Teori UBI adalah untuk menyediakan jaring pengaman finansial yang diambil dari pajak tiap humanoid dan infrastruktur digital korporasi bigtech, memungkinkan manusia untuk mengejar pendidikan, seni, atau kegiatan lain yang tidak terkait dengan pekerjaan tradisional. Namun, sebelum sistem tersebut permanen terbentuk, dunia akan mengalami guncangan dan patahan keras yang sangat hebat dari semua sendi kehidupan. Ini adalah dilema filosofis dan ideologis yang mendalam.
Selamat Datang di Era Distopia Global
Sebelum dunia memasuki superabundance dari mimpi visi kemajuan dobel eksponensial AI menuju AGI, banyak ilmuwan AI terdepan sudah sangat khawatir fase distopia tidak bisa dihindarkan. Setelah usulan moratorium pengembangan AI ditolak, Elon justru ingin mempercepat AGI terwujud di 2026 dengan Grok 5-nya. Sedangkan Emad Mostaque menginisiasi membuat internet cerdas gratis yang bermanfaat untuk masyarakat dengan menyatukan platform blockchain dan AI. Namun, tidak bisa dihindarkan, social unrest dan patahan keras di tengah masyarakat dunia berpotensi intens terjadi mulai sekarang hingga satu dekade ke depan, karena hilangnya pekerjaan, ketimpangan sosial, dan kemiskinan masif dampak dari AI
Geneologi Perubahan Politik di Indonesia
Sejarah perubahan politik kontemporer Indonesia, mulai dari Indonesia merdeka 1945, lahirnya rezim Orba 1966, sampai tumbangnya Presiden Soeharto digantikan Reformasi 1998, terjadi bukan karena perjuangan dari satu sisi saja, namun konvergensi dari dua sisi, domestik dan dunia. Bahwa kondisi domestik ada banyak masalah; kolonialisme,otoritarian. Dan tumbuhnya tunas baru bangsa dengan kekuatan gagasan, militansi, dan pengorbanan merupakan faktor penggerak. Tapi, konstelasi dunia menjadi faktor determinan mempercepat perubahan politik Indonesia yang bersifat epokal dengan menangnya Sekutu di PD II, terbentuknya Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, serta runtuhnya Uni Soviet pada 1991. Aktor utama dunia adalah negara, kecuali 97/98 terjadi simbiosis dengan non-negara, yakni George Soros.
Di tengah konstelasi dunia yang sangat menantang, keadaan domestik pun dibebani masalah kompleks yang dapat menciptakan polikrisis hebat. Pendekatan Presiden Prabowo harus lugas meresfon aspirasi publik. Rakyat sudah memberikan satu-satunya yang dimiliki, yakni kesabaran, menunggu tindakan luar-biasa penegak hukum atas budaya korupsi pejabat. Namun, bukannya diwujudkan, rakyat justru dipertontonkan oleh Menkeu menambah fasilitas mewah kepada wakil rakyat, kontras dengan kehidupan rakyat yang semakin susah.
Inilah PR warisan rezim kepada Prabowo yang bersifat extra ordinary yang membuat pemerintah seperti diikat kakinya. Oleh karena keterbatasan, maka, butuh prioritas penanganan masalah, arah, dan kelugasan, tanpa ragu memisahkan air dengan minyak. Karena tindakan tersebut dapat memberikan harapan kepada rakyat sekaligus bantalan bila momentum konvergensi tiba. Disisi lain, pemerintah tidak memiliki keistimewaan waktu mempersiapkan datangnya era distopia yang dampak kerusakannya skala dunia. Bila terlambat, maka momentum konvergensi membuat Indonesia chaos diterpa badai distopia. Skenario ini jauh lebih buruk dari Perubahan 1998.
Penulis: Bernard Haloho
Aktivis 98 dan Direktur Eksekutif Ind-Bri