telusur.co.id - Anggota Komisi I DPR Sukamta mempertanyakan adanya dugaan kebocoran data penduduk yang menjalani tes Covid-19.
"Jika kasus ini benar terjadi, apakah ini karena kebodohan akan IT dari pihak pengelola, atau karena ketidak tahuan hukum bahwa data data itu harus dilindungi, atau karena kesembronoan dan kelalaian?" tanya Sukamta dalam keterangannya, Jumat (26/6/20).
Sukamta menjelaskan, kasus ini diduga berawal dari data pasien tes Covid-19 yang dapat diakses publik lewat internet dan diperjual belikan.
Dari penelusuran sederhana lewat mesin pencari, ternyata data data ini termasuk data NIK memang ditaruh sembarangan di tempat terbuka sehingga orang bisa mengakses data-data tersebut dengan mesin pencari. Jika diketik nama dan alamat di mesin pencari, maka akan didapat nama, alamat bahkan data sata pribadi seperti NIK, di website pemerintah
"Itu berarti adanya dugaan keteledoran pengelola negara atas amanah data-data pribadi pasien Covid 19 maupun data NIK," tuturnya.
"Pertanyaannya kemudian, data pribadi dan penting apa lagi yang ditaruh sembarangan? Jika kasus ini terbukti, negara harus tegakkan hukum sesuai peraturan perundang-undangan. Kasus-kasus serupa yang terus berulang bisa jadi mengindikasikan lemahnya hukum kita dalam hal ini," sambungnya.
Wakil Ketua Fraksi PKS ini menegaskan bahwa hal ini tidak bisa ditoleransi karena sudah berulang kali. Pejabat pemerintah selalu mengingkari. Ada yang mengatakan datanya aman, ada yang mengatakan tidak memberi akses kecuali hanya konfirmasi.
Faktanya, lanjut Sukamta, data-data tersebut mungkin memang tidak pernah dihack atau dibajak, sehingga dinyatakan aman. Padahal kenyataannya data memang disimpan ditempat terbuka sehingga tidak perlu hacker dan cracker untuk menemukannya.
"Jangan-jangan penjual data publik itu hanya ingin mengingatkan kita akan keteledoran ini. Sekarang justru yang perlu diusut adalah penyelenggara negara atau pengelola data-data tersebut," katanya.
Menurut Sukamta, langkah paling mungkin sekarang pemerintah harus memastikan dan menjamin sistem keamanan siber terkait data pribadi di instansi-instansi pemerintah segera terupdate dan sulit diretas.
Kemudian negara harus memberikan pendidikan tentang pentingnya data pribadi ini ke setiap warganya, termasuk juga kepada para pegawai pemerintah.
Tak lupa, dalam aspek hukum, jika ada kasus kejahatan yang melanggar hak data pribadi, maka tuntaskan kasusnya menggunakan instrumen hukum yang sudah ada, setidaknya ada 32 UU yang mengatur soal pelindungan data pribadi, dan juga memiliki Peraturan Pemerintah tentang hal ini.
"Sementara itu kita juga sedang siapkan seperangkat aturan yang lain seperti RUU Pelindungan Data Pribadi dan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber. Semoga cepat rampung untuk bisa mewujudkan ranah digital yang aman," tukasnya.[Fhr]