telusur.co.id - Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, meminta pemerintah jujur terkait alasan terminasi (penghentian) program subsidi migor curah. Menurutnya, pemerintah harus berani mengakui program subsidi migor curah ini gagal menstabilkan harga migor di pasaran.
"Keterangan yang disampaikan Dirjen Kemenperin bahwa penghentian program ini karena sudah cukup berhasil menekan harga migor curah di pasaran, sangat menyesatkan," tegas Mulyanto, kepada wartawan, Jumat (27/5/22).
"Program ini mungkin berhasil meningkatkan persediaan migor curah di tingkat produsen. Tapi apakah persediaan itu dijual dengan harga sesuai HET, kan belum tentu. Faktanya hingga hari ini harga migor curah masih di atas harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah," sambungnya.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR ini minta pejabat Kementerian yang bertanggung-jawab terhadap pengelolaan migor curah ini jangan ikut latah mencla-mencle menyusul kebijakan Presiden Jokowi membuka keran ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya.
Bagi dia, alih-alih berhasil, berbagai program intervensi Pemerintah untuk mengendalikan harga migor, termasuk subsidi migor curah, dapat dikatakan gagal total. Karena, migor curah masih langka dan dengan harga yang jauh di atas HET.
Menurut data PIHPS (Pusat Informasi Harga Panagan Strategis) Nasional, sampai terbitnya Permenperin terminasi subsidi migor curah (23/5), rata-rata harga migor curah secara nasional adalah sebesar Rp. 18.700,- per kilogram dari HET yang sebesar Rp. 15.500,- per kilogram. Di DKI sendiri, sebagai barometer nasional, harga migor curah masih bertengger di angka Rp. 19.850,- per kilogram.
Jadi, menurut Mulyanto, program terminasi subsidi migor curah per 31 Mei ini, bukan karena sudah berhasil mengendalikan harga migor, tetapi sebaliknya, program ini dianggap gagal menurunkan harga migor curah di bawah HET.
"Sayang kalau uang subsidi dihamburkan terus-menerus, bila ternyata tidak mampu menurunkan harga migor curah di pasaran. Untuk itu Pemerintah menggantikan program subsidi migor curah dengan 'subsidi' yang lebih ke hulu dan lebih menyeluruh untuk semua jenis migor, yakni menerapkan kembali domestic marker obligation (DMO) crude palm oil (CPO) dengan harga domestic price obligation (DPO)," terang Mulyanto.
Mulyanto juga tidak yakin skema subsidi DMO-DPO dapat mengendalikan harga dan pasokan migor curah di pasaran. Sebab, sebelumnya, kebijakan ini pernah diterapkan Pemerintah dan terbukti gagal.
Untuk diketahui, program subsidi yang diterapkan Pemerintah sejak bulan Maret 2022 bertujuan agar harga migor curah dapat dikendalikan sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram (kg). Menteri Perindustrian melalui Permenperin No.26 /2022 tertanggal 23 Mei 2022 mencabut program subsidi tersebut.
Dalam Pasal 3 Permenperin No.26 /2022 diatur ketentuan, bahwa Penyediaan Minyak Goreng Curah untuk kebutuhan masyarakat, usaha mikro, dan usaha kecil dalam kerangka pembiayaan BPDPKS dilaksanakan sampai tanggal 31 Mei 2022.[Fhr]