Penegakan Hukum Ala Jaksa Agung Dinilai Progresif - Telusur

Penegakan Hukum Ala Jaksa Agung Dinilai Progresif

Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Achmad. (Ist).

telusur.co.id - Beberapa waktu terakhir, dunia penegakan hukum Indonesia dihentak oleh pernyataan Jaksa Agung RI ST Burhanuddin. Dari mulai pelaksanaan pemberian keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ) di Kejari Cimahi, hingga wacana perluasan penerapan RJ dan penyelesaian tindak pidana korupsi (Tipikor)  dengan kerugian keuangan negara paling banyak senilai Rp 50 juta.

Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad menilai bahwa wacana yang digulirkan Jaksa Agung terkait keadilan restoratif menarik, karena untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan.

Suparji mengapresiasi wacana tersebut karena hal itu menjelaskan pergeseran pemikiran praktisi hukum yang ingin lepas dari belenggu pemikiran legisme (positivisme) yang memandang hukum hanyalah sebagai aturan perundang-undangan.

Sementara nilai keadilan, kata pakar hukum pidana ini, kepastian dan kemanfaatan dari hukum hanya tercermin dari penegakan hukum tertulis sebagaimana bunyi undang-undang.

"Pemikiran Jaksa Agung kini telah mengisyaratkan pergeseran dari legisme menuju pemikiran hukum realisme, yang memandang bahwa  hukum bekerja tidak sebagaimana bunyi peraturan perundang-undangan," kata Suparji dalam keterangannya, Senin (31/1/22).

Sebab, menurut dia, hukum itu merupakan manifestasi simbolik para pelaku sosial. Pendekatan pemikiran ini adalah bersifat non doktrinal, artinya berdasarkan penilaian atas perilaku masyarakat secara nyata.

"Selain itu, pemikiran realisme lebih mengutamakan kemanfaatan dari hukum. Karena memang hukum itu diadakan adalah demi kemanfaatan bersama masyarakat. Keadilan restoratif (RJ) secara teoritis telah lama menjadi perbincangan para akademisi. Dan saat ini Jaksa Agung mencoba mengaplikasikannya," paparnya.

Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar ini menjelaskan, penyelesaian perkara pidana melalui instrumen RJ ini adalah berbeda konsepnya dengan mekanisme penghentian penyidikan atau penuntutan seperti konsep yang diatur KUHAP.

Penerapan RJ lebih ke perkara pidana yang secara hukum positif (legisme/positivisme) telah lengkap dilakukan persidangan pidana, dimana akan diambil keputusan oleh hakim.

"Artinya berkas perkara pidana itu lengkap, baik formil maupun materiil. Namun oleh Jaksa selaku pemegang kekuasaan negara di bidang penuntutan berdasar asas dominis litis dan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa," tuturnya.

"Maka perkara tesebut dihentikan penuntutannya karena lebih pada untuk pencapaian keadilan substantif dan kemanfaatan. Keputusan RJ itulah cermin dari suatu kepastian hukum," tambah dia.

Secara teoritis, kata dia, RJ merupakan pelaksanaan tugas fungsi jaksa yang dibenarkan atas asas-asas hukum universal yang berlaku secara Internasional.

Sedangkan untuk penyidik, bukanlah RJ sebagai instrumen penghentian perkara, akan tetapi menggunakan instrumen penghentian penyidikan seperti diatur KUHAP.

"Yaitu jika perkara bukanlah perkara pidana, maka perkara tidak cukup bukti, dan perkara ditutup demi hukum. Dan jika perkara tersebut, terdakwanya meninggal dunia, atau karena perkara daluarsa atau ne bis in idem. Diskresi penyidik dapat dilakukan sebagai upaya progresif untuk menghentikan penanganan kasus-kasus di masyarakat yang belum masuk tahap pro justicia yaitu penyelidikan/penyidikan," ulasnya.

Suparji menekankan bahwa wacana Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait penyelesaian perkara tipikor dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 50 juta ke bawah, merupakan pergulatan pemikiran positivisme dan pemikiran realisme hukum, sebagai thesa dan anti thesa dalam dialektika Hegelian maupun Kantianisme.

"Jadi menurut hemat saya, biarkan wacana tersebut berkembang di tengah masyarakat, sehingga menemukan sinthesanya atau pemecahannya," imbuhnya.

"Namun terlepas dari pro kontra atas wacana Jaksa Agung RI baik terkait perluasan RJ maupun penyelesaian perkara dugaan tindak pidana korupsi Rp 50 juta rupiah ke bawah, perlu saya garis bawahi, bahwa itu pemikiran progresif dan maju. Karena secara umum pemikiran positivisme hukum masih membelenggu para praktisi hukum. Ke depannya, pemikiran hukum akan lebih jauh lagi di era pemikiran postmodernis yang lebih bersifat individual, dimana kebenaran umum sebagai bentuk kesepakatan mulai ditinggalkan atau kehilangan legitimasinya," pungkasnya. [Tp]


Tinggalkan Komentar