telusur.co.id - Pemimpin Hizbullah Lebanon Sayyid Hassan Nasrallah mengatakan bahwa Israel belum mendapat capaian apapun setelah menggelar aksi brutal di Jalur Gaza, sementara operasi militer kubu pejuang perlawanan di Lebanon terus meningkat dari segi kuantitas serangan maupun kualitas senjata.
Sayyid Nasrallah dalam pidatonya pada hari Sabtu (11/11/23) menyebutkan bahwa Palestina menuntut kekompakan negara-negara Arab dan Islam dalam Konferensi Tinggi Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang mempertemukan 57 negara di Riyadh, termasuk agar pertemuan ini dapat membuka pintu perbatasan Rafah untuk mengangkut bantuan dan korban luka.
“Inovasi kubu pejuang perlawanan sangat menentukan, dan taruhan hari ini ada di lapangan,” ujarnya, dilansir dari Rai Al Youm, Minggu (12/11/23).
Dia menilai Israel belum mendapatkan capaian apa pun, sementara kubu Pejuang perlawanan terus berjuang dengan penuh rasa bangga.
“Agresi yang terjadi di Gaza adalah perkembangan yang berbahaya, besar, dan luar biasa, dan kejahatan ini mencerminkan balas dendam brutal Israel… Kejahatan pendudukan mencerminkan sifat brutalnya, dan tujuan mereka yang paling menonjol adalah menundukkan masyarakat di kawasan dan menjatuhkan keinginan untuk menuntut hak,” ujarnya.
“Meningkatnya perlawanan di Tepi Barat mungkin memaksa rezim pendudukan (Israel) untuk menarik beberapa kelompok pasukannyanya dari perbatasan dengan Gaza dan Lebanon… Rezim pendudukan masih belum mampu menampilkan gambaran kemenangan pada dirinya, ataupun gambaran kekalahan kubu pejuang perlawanan,” sambungnya.
Mengenai partisipasi Yaman dan Irak dalam perang, Sayyid Nasrallah menyebutkan, pasukan Yaman yang menyerang sasaran Israel dengan rudal dan drone memiliki hasil penting dan jauh dari upaya pencegatan terhadapnya…. Operasi perlawanan Irak terhadap sasaran AS adalah untuk mendukung Palestina dan mendukung gagasan pembebasan Irak dan Suriah.
“Rezim Pendudukan berbicara kepada Lebanon melalui kejahatannya di Gaza dan pembunuhan yang disengaja dan brutal…. Rezim pendudukan membuat kesalahan lagi, dan semua tujuannya akan gagal, dan aksi-aksi pembantaiannya (yang tercatat) dalam sejarah, termasuk Deir Yassin, menjadi saksi akan hal itu,” ungkapnya.
“Musuh (Israel) menimbulkan banyak kerugian pada dirinya sendiri…. memberikan pukulan fatal terhadap proyek normalisasi yang ia upayakan, dan pendirian masyarakat kita yang menolak normalisasi ini akan menjadi lebih keras,” tambahnya.
Dia mengatakan, pergeseran opini publik global, khususnya opini Barat, seperti yang terjadi di AS dan Eropa, adalah hal yang penting.
"Rezim pendudukan kini berada di bawah tekanan waktu dan tidak lagi didukung kecuali oleh rezim Amerika dan kemudian rezim Inggris,” tegasnya.
Mengenai Iran, pemimpin Hizbullah menyatakan bahwa jika para pejuang perlawanan di Lebanon, Palestina dan lain-lain memiliki kekuatan maka itu adalah berkat kepedulian dan kiprah para pemimpin Iran.
Dia menilai Irak tak henti-henti mendukung kelompok-kelompok pejuang perlawanan agar bangsa-bangsa di kawasan Timur Tengah dapat bertahan solid, meski Teheran mendapat intimidari para kubu arogan dunia.
Dia juga memastikan terjadinya peningkatan pada skala operasi militer para pejuang perlawanan di Lebanon, baik dari segi kuantitas maupun kualitas senjata, termasuk penggunaan drone serangan dan rudal, dan dalam hal ini Hizbullah mulai menggunakan rudal Burkan yang memiliki bobot setengah ton, dan setiap hari menerbangkan drone-drone pengintai ke kedalaman wilayah Palestina pendudukan hingga ke Haifa di mana sebagian drone kembali ke Lebanon dengan selamat dan sebagian lain tidak kembali.
“Kami berada dalam pertempuran penuh keteguhan, kesabaran dan akumulasi prestasi, dan kubu pejuang perlawanan dan bangsa-bangsa memerlukan waktu untuk menimpakan kekalahan pada musuh,” ungkapnya.
“Musuh menjadi bingung, dan kebingungan ini tercermin dalam pernyataan-pernyataan kontradiktif Netanyahu,” imbuhhnya.
Sayyid Nasrallah memastikan bahwa “waktu tidaklah menguntungkan musuh” dan terjadi “kegagalan di lapangan dalam upaya (Israel) menundukkan Gaza, terjadi transformasi opini publik dunia, dan terdapat ketakutan pada Israel terhadap perluasan front pertempuran”. [Tp]