telusur.co.id - Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah wabah virus corona (Covid-19) yang saat ini masih berlansung.
Seorang perwakilan fraksi, Asfinawati, meminta DPR fokus mengawasi proses penanganan corona yang dilakukan pemerintah.
"FRI mendesak DPR untuk menghentikan proses legislasi dan segera melakukan fungsi pengawasan terhadap penanganan pemerintah untuk Covid-19," kata Asfinawati dalam keterangannya, Selasa (14/4/20).
Asfi, yang juga Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini menegaskan, pengawasan yang menjadi tugas dan fungsi DPR tidak berjalan sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan pada awal Maret lalu.
Padahal, pemerintah secara nyata lambat dalam menangani virus yang sudah merenggut ratusan jiwa tersebut.
Menurut dia, hal ini dapat dilihat dari lamanya penetapan status bencana, keterlambatan hasil tes, hingga tidak adanya tes massal dan kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD).
"Kelambatan penanganan tersebut juga termasuk kebijakan kekarantinaan kesehatan yang maju mundur sehingga menimbulkan korban bagi buruh, pedagang, dan masyarakat luas," tuturnya.
DPR, lanjut Asfin, juga gagal melaksanakan fungsi anggaran. Itu terlihat dari lebih dulu pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Akan tetapi, bukan berarti kewajiban menunaikan fungsi anggaran ini tidak ada lagi karena pengawasan terhadap anggaran masih menjadi tugas penting DPR khususnya dalam masa krisis ini yang pada masa lalu terbukti melahirkan mega korupsi," ucap Asfin.
Ia berpendapat kelanjutan pembahasan RUU Cipta Kerja telah membuat fokus pemerintah teralihkan.
"Contohnya dalam surat undangan yang beredar di mana tidak kurang dari 11 Menteri diundang DPR di saat penanganan Covid-19 jauh dari kata beres," tuturnya.
Lagi pula, menurut Asfin, metode pembahasan RUU tersebut memiliki sejumlah masalah, sebab itu berpotensi menjadi tidak sah. Ia mengungkapkan nihilnya partisipasi publik dalam pembahasan membuat kualitas demokrasi berkurang.
"Publik tentu tidak dapat mengikuti sidang karena PSBB, sehingga kualitas partisipasi dan artinya kualitas demokrasi berkurang," paparnya.
Asfi juga menyinggung pemerintah untuk tidak berpura-pura "cuci tangan" dalam proses legislasi yang sedang dipaksakan dalam kondisi pandemi ini. Sebab, terang dia, dalam UU sudah diatur pembahasan juga atas persetujuan Presiden.
"Jadi statemen staf ahli presiden yang mengatakan akan menunda omnibus law, tanpa mencabut supres hanyalah merupakan lips service politik belaka. Maka dari itu kehadiran pemerintah dalam proses legislasi sama saja memberikan legitimasi pada proses legislasi yang tidak sah," tukasnya.[Fhr]