Lestari Moerdijat: Sistem Perbukuan yang Baik Tingkatkan Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa - Telusur

Lestari Moerdijat: Sistem Perbukuan yang Baik Tingkatkan Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat

telusur.co.id - Sistem perbukuan yang baik merupakan salah satu instrumen pemenuhan hak mencerdaskan kehidupan setiap warga negara yang diamanatkan oleh UUD 1945.

"Buku berperan penting dalam pemenuhan hak-hak pendidikan warga negara. Membaca merupakan wadah utama untuk mencapai tata kelola pengetahuan yang baik," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Tata Kelola Pengetahuan dan RUU Buku di Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (20/8). 

Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Willy Aditya (Ketua Komisi XIII DPR RI - Pengusul RUU tentang Perbukuan), Dr. Ir. Achmad Fachrodji, M.M. (Direktur Utama PT Balai Pustaka (Persero), dan Arys Hilman Nugraha (Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia/IKAPI) sebagai narasumber. 

Selain itu hadir pula Kanti W. Janis, S.H., LL.M. (Pendiri perpustakaan Baca di Tebet - Ketua Koperasi Penulis Bangsa Indonesia) sebagai penanggap. 

Menurut Lestari, salah satu fondasi kemajuan peradaban bangsa adalah tata kelola pengetahuan yang diperoleh dari kemudahan akses pada buku, kebiasaan dan kemampuan membaca.

Namun, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, berdasarkan survei UNESCO 2024, minat baca masyarakat Indonesia 0,001%, atau hanya satu dari seribu orang yang gemar membaca secara aktif. 

Sementara laporan PISA 2022, mencatat skor literasi membaca siswa Indonesia yakni 371, berada jauh di bawah rata-rata negara OECD.

Berdasarkan kondisi itu, Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu mengungkapkan, inisiatif untuk merevisi Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan mulai dicanangkan sejak 2023.

Rancangan Undang-Undang terkait perubahan atas UU No 3/2017 tentang Sistem Perbukuan itu, tambah Rerie, salah satu tujuannya adalah agar kebijakan terkait perbukuan mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital, perlindungan hak cipta, sekaligus meningkatkan literasi dan daya saing sumber daya manusia (SDM) nasional. 

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong agar para pemangku kepentingan dapat melahirkan kebijakan yang mampu meningkatkan literasi digital dan literasi informasi yang efektif meningkatkan tata kelola pengetahuan sehingga mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai bagian pelaksanaan amanah konstitusi UUD 1945.

Pengusul RUU tentang Perbukuan yang juga adalah Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya mengungkapkan, usul untuk merevisi UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan itu sejatinya sudah dilakukannya pada keanggotaan DPR periode yang lalu. 

Karena ketika itu sibuk memperjuangkan sejumlah undang-undang lain, Willy mengungkapkan, upaya revisi UU/2017 itu agak terbengkalai. 

Menurut Willy, apa yang diusulkan terkait kebijakan perbukuan bukan sekadar revisi, tetapi lebih pada perubahan karena kebijakan yang diusulkan sangat fundamental secara isi dan substansi. 

Usulan perubahan kebijakan terkait sistem perbukuan, menurut Willy, merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. 

"Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa itu adalah merupakan tugas suci dalam menjalankan amanat konstitusi," ujar Willy. 

Menurut dia, tata kelola perbukuan yang merupakan sumber ilmu pengetahuan saat ini masih belum memadai. 

Willy berpendapat, penghargaan terhadap penulis, penerbit, dan ilmu pengetahuan yang disampaikan pada sebuah buku masih relatif rendah. 

Upaya perubahan UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan, ujar Willy, saat ini sedang diupayakan masuk dalam perubahan Prolegnas pada bulan depan. 

Direktur Utama PT Balai Pustaka (Persero), Achmad Fachrodji mengungkapkan, Balai Pustaka sudah berusia 108 tahun dan memiliki sejarah yang sangat panjang di bidang penerbitan buku. 

Menurut Achmad, saat ini Balai Pustaka memiliki 6.000 judul buku antara lain berupa novel klasik, cerita rakyat, dan karya sastra lainnya. 

Sejumlah kelemahan pada UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan, ujar Achmad, antara lain kurangnya implementasi dan pengawasan dalam realisasinya. 

Diakuinya, buku berkualitas saat ini sulit didapat di daerah tertinggal. Kebijakan yang ada saat ini, tambah dia, kurang fokus pada literasi digital dan cenderung fokus pada buku fisik. 

Ketua Umum IKAPI, Arys Hilman Nugraha mengungkapkan, bahwa sejak 3 tahun lalu IKAPI sudah meminta badan keahlian Komisi X DPR RI untuk menyampaikan usulan terkait penerapan sistem perbukuan yang lebih baik. 

Arys mengaku sangat senang dengan upaya perbaikan sistem perbukuan yang tidak hanya sekadar revisi, tetapi sebuah perubahan kebijakan. 

Menurut Arys, UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan sangat bias terhadap buku pendidikan dan buku pelajaran sekolah. 

Selain itu, jelas Arys, pada kebijakan tersebut tidak diatur terkait bagaimana menumbuhkan budaya membaca di masyarakat. 

Menurut Arys, bila sebuah kebijakan hanya mengatur sisi hulu, terkait penerbit dan penulis yang harus mampu memproduksi karya  berkualitas, tanpa ada kewajiban di sektor hilir seperti menumbuhkan minat baca masyarakat, buku yang diproduksi tidak ada yang beli. 

"Pasarnya harus dibangun dengan terus menumbuhkan budaya baca masyarakat melalui berbagai cara, sehingga produk buku berkualitas yang dihasilkan dapat diserap," ujar Arys. 

Pendiri perpustakaan Baca di Tebet, Kanti W. Janis berpendapat, sebuah kebijakan bila tidak memuat ketentuan yang memaksa untuk menerapkannya bukanlah kebijakan yang baik. 

Kebijakan terkait sistem perbukuan, menurut Kanti, harus memiliki landasan berpikir untuk mewujudkan Indonesia yang maju, beradab, dan berkeadilan sosial. 

Selain itu, tambah dia, juga harus mampu membentuk orang Indonesia yang berbudi pekerti baik dengan pemikiran-pemikiran bermutu yang mencerdaskan bangsa. 

Agar penulis bisa menghasilkan karya yang bermutu, ujar Kanti, penulisnya harus dihargai dan dilindungi hak-haknya. 

Menurut Kanti, yang menyebabkan harga buku mahal saat ini karena buku dikenakan pajak berantai dari pajak kertas, PPN buku, hingga pajak dari royalti. 

Wartawan senior Usman Kansong berpendapat, sambil menunggu lahirnya perubahan undang-undang sistem perbukuan, pemerintah bisa melakukan sejumlah upaya untuk menghidupkan ekosistem perbukuan kita. 

Menurut Usman, saat ini dalam tata kelola perbukuan di tanah air terkesan tidak ada kehadiran pemerintah. 

Sejumlah langkah diskresi, ujar Usman, bisa dilakukan pemerintah untuk membantu jalannya sistem perbukuan, seperti ikut aktif meningkatkan minat baca masyarakat dan memangkas atau menghilangkan pengenaan pajak pada sejumlah komponen dalam produksi  buku. 

Menurut Usman harus ada langkah konkret yang segera dari pemerintah untuk memperbaiki sejumlah kebijakan dalam upaya menghidupkan dunia perbukuan di Indonesia.


Tinggalkan Komentar