telusur.co.id - M Salim dan istrinya Juminiati, warga Desa Simpang Kelaping Kecamatan Pengasing Kabupaten Aceh Tengah, tidak pernah menyangka anaknya yang sedang mondok di sebuah pesantren di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat menjadi korban tindak penganiayaan oleh santri lainnya.
Penganiayaan anak M. Salim terjadi pada 12 November 2024 lalu dan kemudian kasus tersebut ditangani oleh Kepolisian Sektor setempat, namun keluarga korban tidak pernah mendapat informasi. Mirisnya korban yang dalam keadaan sakit akibat tindak penganiayaan tidak mendapatkan penanganan medis.
Empat hari paska kejadian, M. Salim baru mendapat informasi setelah dihubungi anaknya yang melarikan diri dari pesantren bersama 3 korban lainnya karena merasa tidak aman oleh ancaman pelaku. Sekitar seminggu kemudian, dengan bermodalkan pinjaman uang dari kerabatnya, M. Salim dan istrinya menyusul anaknya di Depok, Jawa Barat dengan turut membawa serta 2 anaknya yang masih kecil.
Namun, sebelum keberangkatan menyusul anaknya, M. Salim sempat berkomunikasi dengan pihak pesantren terkait kasus yang menimpa anaknya, namun pihak pesantren terkesan lepas dari tanggung jawab serta meminta kasus tersebut tidak membuat laporan hukum. Bahkan, M. Salim sempat mendapat pesan bernada ancaman dari pihak pesantren.
Pada tanggal 25 November 2024, M. Salim dan istrinya mendatangi Sekretariat Lapor Mas Wapres karena merasa penanganan kasus anaknya oleh Polsek setempat tidak ada penyelesaiannya. Lalu M. Salim dan istrinya juga membuat laporan ke Kantor Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 26 November 2024.
Tanggal 11 Desember 2024, Sekretariat Lapor Mas Wapres mengarahkan agar ke Polres Kabupaten Bogor di Cibinong dan mendapat surat laporan kepolisian. Pihak penyidik berulang kali berjanji menjenguk korban tapi tidak pernah mendatangi dan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) pertama diterima 30 Desember 2024 dalam bentuk PDF setelah pihak keluarga berulang kali meminta.
SP2HP kedua diterima pada 11 Januari 2025 dalam format PDF. Pada 15 Januari, M. Salim dan istri mendatangi Polres guna menanyakan perkembangan kasus karena merasa kurang mendapat tanggapan dari penyidik setiap kali menanyakan kasus anaknya melalui pesan whatsapp. Kepada keluarga, penyidik menyampaikan berkas ke kejaksaan akan dibuat dihari tersebut dan kata penyidik M. Salim dan keluarga boleh pulang ke Aceh.
Namun M. Salim dan istrinya berulang kali harus mendatangi Polres Bogor karena setiap menanyakan kasus anaknya selalu kurang mendapat tanggapan dari penyidik. Terakhir, penyidik mengatakan dalam 2 bulan akan dilimpahkan, namun hingga 3 bulan kemudian tidak ada kabar. Karena itu, tanggal 15 Juni 2025 M. Salim dan istri kembali mendatangi Sekretariat Lapor Mas Wapres dab staf yang ditemui disana kaget karena informasinya kasus tersebut telah selesai.
Salim menyampaikan jika kasus anaknya belum selesai dan staf yang ditemui lalu memghubungi Kapolres Bogor. Setelah itu baru ada respons dari penyidik dan saat itu dibuatkan Surat Penetapan Tersangka. Lalu tanggal 16 Juni 2025, Salim dan istri kembali ke Polres Bogor mengambil surat penetapan tersangka dan undangan gelar khusus.
Tanggal 28 Juli 2025, Salim kembali ke Polres Bogor guna menanyakan tentang pelimpahan kasus anaknya. Tapi kembali disuruh menunggu selama 2 minggu oleh penyidik dan keluarga sempat bertanya apakah pelaku sudah ditahan. Penyidik mengatakan penahanan akan dilakukan pada 1 Agustus 2025.
Tapi hingga tanggal 4 Agustus 2025 saat keluarga korban ke Polres Bogor, pelaku belum ditahan. Penyidik berjanji tanggal 14 Agustus akan memberi informasi lanjutan. Namun Salim dan istrinya sudah hilang rasa percaya, karena sudah 9 bulan berlalu dan kasus anaknya tidak ada kejelasan.
Pada 5 Agustus 2025, keluarga juga sudah membuat surat permohonan SP2HP ke Kapolres Bogor dan tembusannya ke Propam. Namun saat kembali ke Polres, Salim dan istrinya kembali tidak menemui kejelasan terkait kasus anaknya.
Pada tanggal 17 Agustus 2025, M. Salim melaporkan kronologi kasus anaknya dan terjalnya upaya pencarian keadilan kepada H. Sudirman Haji Uma, anggota Komite I DPD RI asal Aceh. Kepada senator yang akrab disapa Haji Uma, Salim petani kopi asal Aceh Tengah dan istrinya berharap bisa menemukan jalan keadilan dalam kasus yang menimpa anaknya.
"Kami sudah tidak tau dan hilang harapan setelah berbulan dirantau orang untuk memperjuangkan keadilan bagi anak kami. Melalui bapak Haji Uma, kami memohon dan berharap adanya jalan keadilan. Kami sudah menjual segala yang kami miliki dalam upaya perjuangan keadilan ini", ujar Juminiati, ibu korban via rekaman suara yang dikirim melalui whatsaap kepada Staf Ahli Haji Uma.
Disisi lain, Juminiati juga bercerita dalam pencarian keadilan dan mengikuti anjuran penyidik untuk pendamping hukum, dirinya dan suami mendatangi sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Namun keluarga korban menilai jika mereka tidak berpihak dan sepenuhnya akan membantu kasus anaknya, hingga memutuskan komunikasi dengan LBH tersebut.
Namun pihak LBH terus menghubungi dan memaksa Salim kembali datang ke kantor LBH tersebut. Karena tidak punya biaya, mereka dijemput pihak LBH dan saat itu Lurah tempat Salim dan keluarga ngontrak membantu biaya Rp 100 ribu. Oleh pihak LBH, Salim dan keluarga ditempatkan di sebuah gudang dan mereka diminta untuk menandatangani surat yang mereka belum sempat baca seluruh isinya tanpa sempat menjelaskan kronologi kejadian kasus anaknya.
Setelah bertahan 3 hari disana, Salim dan istrinya merasa dibohongi dan selanjutnya meninggalkan tempat tersebut dan juga memutuskan mencabut surat kuasa dari LBH tersebut via whatsapp. Baru-baru ini baru mengetahui jika mereka digugat oleh LBH tersebut. Ironisnya, LBH tersebut juga menjadi kuasa hukum dari pihak pesantren dan tersangka pelaku penganiayaan anaknya.
Dari pengakuan Salim dan istrinya, mereka digugat Rp 500 juta oleh LBH tersebut atas dasar pencabutan surat kuasa hukum oleh keluarga korban sebelumnya. Masalah ini telah bergulir dipengadilan berdasarkan keterangan Salim dan istrinya. Pihak LBH sempat meminta mediasi nanum ditolak oleh keluarga korban.
"Sekarang kami dituntut 500 juta oleh LBH tersebut, mereka membuat skenario yang mengada-ada. Padahal kejadian tersebut sama sekali tidak ada", ujar istri Salim via pesan suara dalam nada lirih yang dikirim ke Haji Uma, 18 Agustus 2025.
Juminiati mengaku jika saat ini, pihak LBH menahan semua dokumen identitas diri, mulai KTP dirinya dan suami, KK asli serta akte kelahiran asli 2 anaknya berumur 4 tahun dan 6 tahun yang saat ini bersama mereka di tempat yang dirahasiakan di sekutar wilayah Jawa Barat, oleh alasan merasa terancam.
Sementara itu, menanggapi pengaduan dari M. Salim dan istrinya, anggota DPD RI asal Aceh mengaku miris dan prihatin serta berkomitmen untuk membantunya. Dirinya berharap agar kasus M. Salim dan anaknya selaku korban penganiayaan harus berjalan sesuai kaedah hukum serta berkeadilan.
"Kita telah menerima aspirasi dan aduan dari warga kita asal Aceh Tengah terkait permasalahan dan perjuangannya untuk keadilan dalam kasus hukum anaknya yang menjadi korban penganiayaan disebuah pondok pesantren di Kabupaten Bogor. Kita berkomitmen untuk membantu dan mengawal kasus ini agar diselesaikan secara berkeadilan", ujar Haji Uma, Rabu (20/8/2025).
Menindaklanjuti aduan tersebut, Haji Uma mengaku akan segera mengirimkan surat ke Kapolres Kabupaten Bogor serta tembusannya ke DPD RI dan Kapolda Jawa Barat. Surat ini berisi atensi dan meminta agar penegakan hukum kasus ini berjalan sesuai ketentuan perundangan dan berkeadilan bagi keluarga korban.
"Kita akan menyurati Polres Bogor dengan tembusan ke Polda Jawa Barat agar kasus ini mendapat atensi dan berjalan sesuai prosedur dan aturan perundangan yang berlaku serta memberikan rasa keadilan bagi korban", sebut Haji Uma.
Haji Uma juga berharap kepada komponen masyarakat Aceh dan khusus masyarakat Gayo di Jakarta dan sekitarnya agar turut serta memberikan perhatian dan bersama membantu M. Salim dan keluarganya agar mendapatkan keadilan dalam kasus yang dihadapinya.