telusur.co.id - Sejumlah wartawan yang tergabung dalam Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) melakukan aksi teatrikal di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (27/8/2025). Mereka berdiri di tangga MK dan membentangkan poster berisi pesan penguatan perlindungan wartawan.
“Stop kriminalisasi wartawan”, “MK, tegakkan perlindungan hukum untuk wartawan,” begitu pesan pada bentangan poster.
Anggota Iwakum juga membalut bagian tubuh dengan perban. Aksi tersebut sebagai simbol maraknya kekerasan yang dialami wartawan.
Terbaru, wartawan foto Antara dipukuli polisi saat melakukan peliputan aksi 25 Agustus di depan DPR.
Aksi teatrikal ini dipimpin Ketua Umum Iwakum Irfan Kamil dan Sekjen Ponco Sulaksono. Setelah aksi teatrikal, Kamil dan Ponco melanjutkan perjuangan perlindungan wartawan dalam ruang sidang MK.
Iwakum tengah mengajukan permohonan uji materi atau judicial review Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ke MK. Pasal 88 UU Pers dinilai bertentangan UUD 1945 karena aturan itu masih multitafsir dan tidak jelas. Akibatnya, wartawan bisa dituntut secara pidana atau perdata terkait dengan kerja jurnalistik. Padahal, sengketa mengenai pers seharusnya diselesaikan melalui Dewan Pers.
Untuk itu, Iwakum meminta agar MK memaknai pasal tersebut agar tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan terhadap wartawan dalam melaksanakan profesinya berdasarkan kode etik pers;
Atau, kedua, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pers.
Kamil menyebut langkah ini merupakan upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan sejati bagi pers di Indonesia.
“Kami ingin memastikan bahwa kemerdekaan pers bukan sekadar jargon, tetapi benar-benar dilindungi secara hukum,” kata Kamil.
Kata dia, wartawan tidak boleh lagi bekerja di bawah bayang-bayang ancaman kriminalisasi maupun gugatan perdata.
Ponco Sulaksono menambahkan, wartawan seharusnya mendapatkan perlindungan hukum yang jelas sama seperti profesi lain. Ia membandingkan dengan advokat yang dilindungi oleh Pasal 16 UU Advokat atau jaksa yang dilindungi Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan.
“Wartawan juga seharusnya mendapat perlindungan hukum yang tegas dan tidak multitafsir. Jika tidak, kebebasan pers yang dijamin konstitusi akan terus terancam,” kata Ponco.
Ponco mengatakan, wartawan semestinya bekerja dan memberikan informasi secara aman tanpa khawatir tuntutan hukum. Ia juga berharap tak ada lagi kekerasan yang dialami wartawan, seperti yang dilakukan oknum polisi kepada wartawan Antara saat meliput demonstrasi di depan gedung DPR beberapa hari lalu.
“Perlindungan wartawan berarti memperkokoh demokrasi. Kebebasan wartawan adalah indikator sehatnya praktik demokrasi," tegas Ponco.[Nug]