telusur.co.id - Polemik royalti musik kembali memanas dan mengguncang dunia hiburan Indonesia. Kali ini, suara kritik datang dari dalam jantung legislatif sendiri, Kompleks Parlemen Senayan.
Willy Aditya, Ketua Komisi XIII DPR RI, melontarkan kecaman pedas terhadap praktik penarikan royalti yang dinilai sudah "sesat pikir". Dalam diskusi bertajuk “Akhiri Polemik Royalti, Revisi UU Hak Cipta Menjadi Solusi” yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), Willy menegaskan bahwa karya cipta tidak boleh disanderakan hanya pada nilai komersial semata.
“Kita jangan sampai terjebak. Karya cipta adalah jiwa dari peradaban, bukan hanya soal dihitung dengan uang. Ia punya fungsi sosial, publik, dan kebudayaan yang jauh lebih mulia,” tegas Willy dengan nada berapi-api.
Sorotan Tajam pada LMK: Warung Indomie pun Kena Pungli
Willy menyoroti kekacauan sistem yang ditimbulkan oleh belasan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang beroperasi saat ini. Akibatnya, terjadi penarikan yang membingungkan dan tidak proporsional.
“Ini sudah kebablasan! Ada warung kecil yang cuma jualan Indomie, lalu dipungut royalti hanya karena memutar musik dari radio kecilnya. Itu kan absurd! Musiknya cuma jadi pengusir keheningan, bukan untuk komersialisasi. Harus diluruskan!” tuturnya, disambut gelengan kepala sejumlah peserta diskusi.
NasDem Usung Revisi UU: LMKN Jadi Solusi?
Menyikapi kekisruhan ini, Willy yang juga Ketua Bidang Ideologi Organisasi dan Kaderisasi DPP Partai NasDem ini mengungkapkan bahwa solusi sedang dipersiapkan. Penarikan royalti akan dipusatkan di Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk menjamin transparansi.
“Komisi XIII siap membahas revisi UU Hak Cipta. Kami bahkan sudah melakukan riset untuk memastikan regulasi ini proporsional. Tinggal tunggu perintah dari Pimpinan DPR,” paparnya penuh keyakinan.
Dhani Beri Peringatan Keras: Kerugian Komposer Capai RATUSAN MILIAR!
Di sisi lain, Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Gerindra, Ahmad Dhani—yang juga musisi senior—melayangkan kritik yang tak kalah tajam. Ia membeberkan fakta mencengangkan: kekeliruan tafsir UU telah merugikan komposer hingga ratusan miliar rupiah!
“Tafsir UU selama ini keliru! Yang wajib bayar royalti adalah penyanyi sebagai pengguna, bukan EO (Event Organizer). Karena kesalahan fatal ini, komposer kehilangan haknya selama bertahun-tahun. Jika dihitung sejak 2014, nilainya bisa mencapai ratusan miliar dari penjualan tiket konser saja,” ungkap Dhani dengan nada tinggi.
Dhani mendesak agar revisi UU Hak Cipta harus dilakukan dengan sangat hati-hati. “Kata demi kata dalam UU harus ditafsirkan tepat. Jangan sampai komposer, ujung tombak industri musik, terus menjadi korban. Ini soal keadilan dan masa depan budaya musik Indonesia,” tegasnya.
Apa Langkah Selanjutnya?
Dengan dua tekanan kuat dari dua komisi berbeda di DPR, bola kini ada di pengadil pemerintah. Revisi UU Hak Cipta bukan lagi wacana, melainkan sebuah keharusan untuk mengakhiri kekisruhan yang telah merugikan banyak pihak, dari warung kecil hingga komposer legendaris.