telusur.co.id -Anak-anak merupakan kelompok paling rentan saat bencana terjadi. Mereka belum sepenuhnya mampu mengendalikan diri dan masih sangat bergantung pada orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk rasa aman. Ketika banjir bandang dan tanah longsor melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatra, anak-anak menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak, tidak hanya secara fisik tetapi juga psikologis.
Kondisi tersebut mendorong Tim Tanggap Darurat Bencana Universitas Airlangga (UNAIR) untuk turun langsung memberikan pendampingan kepada anak-anak penyintas bencana tanah longsor dan galodo istilah Minangkabau untuk banjir bandang di Jorong Limo Badak, Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam. Pendampingan ini dilakukan sebagai upaya membantu pemulihan psikologis anak-anak yang mengalami pengalaman traumatis akibat bencana.
Pada Selasa (16/12/2025), Rizqy Tasnima Fadhilah, salah satu anggota Tim Tanggap Darurat Bencana UNAIR, memberikan pendampingan melalui kegiatan edukasi interaktif. Dhila, sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa sebagian besar anak penyintas yang didampingi masih berada pada jenjang taman kanak-kanak hingga sekolah dasar.
“Saat kami datang, adik-adik ini banyak bercerita tentang peristiwa yang telah mereka lalui. Bahkan di antara mereka ada yang menyaksikan langsung terjadinya banjir bandang dan tanah longsor tersebut,” ujarnya.
Melihat kondisi tersebut, Dhila memilih pendekatan pendampingan yang sederhana dan berhati-hati untuk menghindari pemicu trauma. Menurutnya, pengalaman menghadapi banjir bandang dan tanah longsor kemungkinan besar merupakan pengalaman pertama bagi anak-anak tersebut.
“Saya di sini datang untuk mendampingi mereka. Karena situasinya masih seperti ini (banyak banjir dan longsor susulan, red), supaya tidak men-trigger langsung tentang peristiwa banjir dan longsor itu, jadi saya lebih ke membagikan game yang bersifat fun saja,” katanya.
Alumni Magister Manajemen Bencana (MMB) UNAIR yang juga merupakan fasilitator Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) tersebut menambahkan bahwa pendampingan anak penyintas bencana harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Menurutnya, edukasi kebencanaan yang bersifat teknis dan spesifik sebaiknya diberikan setelah kondisi psikologis anak benar-benar pulih.
“Kalau misalnya dikasih edukasi kebencanaan yang spesifik tentang banjir dan tanah longsor, itu bisa di lain waktu saat sudah pulih. Kalau masih ada susulan seperti ini, dikhawatirkan masih terlalu awal untuk kita bicara bencana karena bisa memicu trauma,” imbuhnya.
Berkaca dari kondisi anak-anak di Jorong Limo Badak, Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam, Dhila berharap edukasi mitigasi bencana bagi anak dapat menjadi perhatian serius pemerintah dan para pemangku kebijakan di bidang pendidikan. Menurutnya, pendidikan mitigasi bencana sudah seharusnya terintegrasi dalam kurikulum sekolah.
“Saat ini banyak sekolah yang belum menganggap kurikulum kebencanaan itu sebagai hal yang penting. Padahal sudah selayaknya pemerintah melalui SPAB lebih giat untuk melakukan edukasi ke sekolah,” terangnya.
Ia menilai, implementasi kurikulum mitigasi bencana sangat penting agar ketika bencana terjadi, anak-anak setidaknya memahami langkah awal yang harus dilakukan.
Kegiatan pendampingan yang dilakukan Tim Tanggap Darurat Bencana UNAIR ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 4 tentang Pendidikan Berkualitas. Edukasi interaktif yang menyenangkan diharapkan dapat mendukung pendidikan yang inklusif dan berkualitas, sekaligus memberi ruang belajar yang positif bagi anak-anak meski berada dalam situasi pascabencana.
Selain itu, pendampingan terhadap anak penyintas bencana juga menjadi bentuk kontribusi dalam membangun komunitas yang lebih tangguh dan berkelanjutan. Upaya ini selaras dengan SDG 11, yaitu Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan, dengan harapan anak-anak dapat pulih secara lebih baik dan memiliki ketahanan menghadapi bencana di masa depan.



