telusur.co.id - Rancangan Undang-undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) telah saja disepakati oleh 8 fraksi dalam rapat pleno tingkat satu di Badan Legislasi DPR, untuk dibawa ke Pembahasan ingkat II yaitu Paripurna.
Direktur Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Jabodetabek Anwar Razak menyatakan, dari proses pembahasan yang dilakukan oleh Baleg DPR, sejak 13 Maret 2024, KOPEL mencatat tidak adanya partisipasi publik baik secara langsung maupun secara online.
"Padahal, dari awal munculnya draft RUU ini sebelum Pemilu 2024 hanya melibatkan 1 organisasi masyarakat sipil, yaitu Bamus Masyarakat Betawi. Padahal sangat banyak kelompok masyarakat yang ada di Jakarta," kata Anwar dalam keterangannya, Selasa (19/3/24).
Bahkan, lanjut Anwar, KOPEL Jabodetabek dan Koalisi Orang dan Masyarakat Sipil Jakarta (KOMMATS) yang telah mengirim surat masukan ke DPR sebelum adanya pembahasan pada 13 Maret 2024, tidak digubris sama sekali.
"Padahal, selain menolak isi Pasal 10 tentang penunjukan gubernur oleh Presiden, kami juga memiliki catatan penting lainnya," ucapnya.
Menurut dia, pembasan yang ekstra cepat ini sangat berpotensi hanya berisi pengaturan bagi-bagi kewenangan para elit pemerintah dan partai-partai besar. Dan, tidak mengatur tentang bagaimana menjamin masyarakat kebutuhan dan kepentingan masyarakat Jakarta dan daerah sekitar.
Anwar melanjutkan, pasal-pasal tentang daerah aglomerasi, contohnya, yang mengatur keterpaduan wilayah-wilayah se-Jabodetabek hanya berfokus pada pengaturan potensi-potensi ekonomi daerah. Namun, mengabaikan bagaimana menjamin kesejahteraan dan pelayanan publik masyarakat.
"Ingat bahwa daerah-daerah di Jakarta dan Jabodetabek masih punya masalah terkait orang miskin, stunting, putus sekolah, pengangguran dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut sudah pasti tidak menjadi concern dari partai-partai di DPR, sehingga kemungkinannya RUU ini lebih banyak merugikan ke publik ketimbang manfaatnya," tegasnya.
Oleh karenanya, KOPEL Jabodetabek menilai bahwa pembahasan DPR sangat terburu-buru dan tidak ada partisipasi bermakna. Maka dari itu, KOPEL meminta DPR untuk menahan penyerahan RUU ke pembahasan tingkat II, dan membuka tanggapan dan konsultasi publik serta mempublikasikan draft RUU yang terakhir. [Fhr]