Oleh : Abdurrahman Syebubakar*
Sebelum Covid-19, kita menyaksikan kegagalan demi kegagalan yang disuguhkan rezim Jokowi kepada rakyat. Penduduk miskin dan nyaris miskin membludak mencapai 140 juta jiwa dan 22 juta rakyat lapar kronis. Sementara 4 orang super kaya memiliki kekayaan setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Pertumbuhan ekonomi jauh dari target meroket seperti sesumbar Jokowi dan utang negara menggunung, yang menurut BPK (2020), pengelolaannya tidak efektif tanpa parameter dan indikator capaian. Ujung ujungnya, beban pembayaran pokok dan bunga utang setinggi langit dipikul rakyat.
Pada saat yang sama, demokrasi dan kebebasan ambyar, korupsi politik merajalela – skandal Jiwasaraya sendiri menyebabkan kerugian negara mencapai Rp. 13,7 triliun, pilpres sangat curang dan paling berdarah dalam sejarah politik Indonesia dengan kematian hampir 900 petugas pemilu. Iuran BPJS kesehatan yang mestinya gratis untuk setiap warga negara sesuai amanat konsititusi justru mencekik leher rakyat dan meniadakan hak jutaan penduduk miskin dan nyaris miskin mengakses layanan kesehatan. Reformasi dikorupsi, salah satunya dengan mengebiri KPK melalui kriminalisasi ketua dan wakil ketuanya pada 2015, dilanjutkan dengan revisi UU KPK yang membuat lembaga anti rasuah ini mati suri.
Masalah menumpuk dan makin berat di tengah karut marut penanganan Covid 19 yang menambah penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Dampak virus corona menghantam kehidupan sosial dan ekonomi rakyat bagai angin puyuh. Sudah pasti jumlah rakyat miskin bertambah, dan mereka yang miskin makin menderita. Puluhan juta rakyat kehilangan mata pencaharian dan pekerjaan, terutama akibat rontoknya sektor informal.
Lebih tragis lagi, rezim Jokowi berubah menjadi monster politik yang siap memangsa rakyatnya sendiri. Tidak segan-segan membungkam suara sumbang dengan segala cara termasuk pemidanaan seperti yang menimpa Said Didu, Farid Gaban, Ruslan Buton, dan Yudi Syamhudi. Kalangan kampus dan jurnalis juga menerima teror pembunuhan hanya karena mendiskusikan pemakzulan presiden dan menulis judul berita yang tak sesuai selera rezim.
Dalam situasi maha sulit akibat pandemi, Jokowi masih sempat mengeluarkan beleid-beleid yang hanya menguntungkan para hulungbalang dan cukong yang ada di sekelilinnya. Sementara rakyat makin tertekan. Sebut saja, RUU Omnibus Law pesanan pemodal yang menindas hak-hak buruh, UU Minerba yang memanjakan korporasi serta mengancam lingkungan dan rakyat, dan UU Corona sebagai pintu masuk korupsi dan otoritarianisme.
Maka, sangat masuk akal, jika rakyat mendesak Jokowi lengser atau dilengserkan. Harapannya, kita terhindar dari situasi yang jauh lebih mengerikan ke depan akibat inkompetensi dan keculasan politik Jokowi.
Toh, konstitusi menyediakan ruang untuk melengserkan presiden. Seperti diatur dalam pasal 7A UUD45, presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
SKENARIO POLITIK
Jika harapan rakyat agar Presiden Jokowi lengser menjadi kenyataan, maka ada dua skenario politik yang mungkin terjadi dalam koridor konstitusi.
Skenario pertama, sesuai UUD45 pasal 8 ayat 1, jika presiden berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Hal ini dapat terlaksana bila di tingkat elit politik, Wapres Ma’ruf Amin (MA) diterima semua parpol dan anggota DPR/MPR.
MA juga belum tentu mendapat kepercayaan rakyat, baik dari elemen pendukung maupun kontra Jokowi. Pasalnya, MA hanya dipakai sebagai vote-getter kalangan nahdiyin saat pilpres dan stempel agama bagi rezim yang tidak bersahabat dengan kelompok Islamis, kelompok yang sangat dekat dengan MA sendiri.
Selama mendampingi Jokowi, MA sangat pasif, bahkan hilang ditelan bumi di saat negara dilanda musibah pandemik Covid-19. Sesekali tampil, MA hanya membenarkan langkah dan kebijakan ngawur rezim dengan memanfaatkan dalil agama. Seperti konser musik corona di bulan Ramadhan yang menurut MA bukan saja boleh tapi mendulang pahala melebihi puasa. Tiga hari menjelang lebaran, MA juga tiba tiba muncul atas nama pemerintah meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia karena covid-19 belum hilang sampai saat ini. Seharusnya, Jokowi sendiri yang meminta maaf kepada rakyat, bukan MA yang tidak tau apa apa.
Dengan akseptabilitas rendah dan kemampuan terbatas, skenario MA menggantikan Jokowi menjadi pilihan yang tidak feasible. MA tidak akan mampu menahodai kapal Indonesia yang nyaris karam akibat inkompetensi rezim Jokowi, di mana MA menjadi bagiannya di periode kedua.
Skenario kedua, Presiden dan Wakil Presiden berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya secara bersamaan maka menurut UUD 1945 pasal 8 ayat 3 pelaksana tugas kepresidenan adalah triumvirat menteri, yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan. Dalam tempo selambat-lambatnya 30 hari, MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya.
Secara normatif, koalisi parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf dan koalisi parpol pengusung Prabowo-Sandi berhak mengusulkan pasangan calon yang akan dipilih MPR. Tetapi konfigurasi politik telah berubah dengan bergabungnya Prabowo ke dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Dus, peta politik di parlemen berubah dengan sendirinya.
Kemungkinan besar skenario kedua akan memunculkan pasangan yang diusung koalisi partai pemerintah yang menguasai DPR. Melihat kemesraan Mega dan Prabowo saat ini dengan keinginan mengusung Prabowo-Puan sebagai capres-cawapres 2024, sangat mungkin PDIP dan Gerindra mengusung pasangan ini untuk menggantikan Jokowi-MA. Dengan gabungan kursi di DPR berjumlah 206 (36 %) atau sekitar 29% kursi di MPR, mereka membutuhkan 22% lagi untuk memenangi pemilihan di MPR.
Sementara poros alternatif yang berpotensi mengusung calon selain Prabowo-Puan dapat dimotori Golkar dan/atau Nasdem yang memiliki kursi di DPR, masing masing 85 (15%) dan 59 (10%). Pasangan yang mereka usung bisa dari koalisi parpol dan/atau dari luar parpol.
Selain keempat partai tersebut, yaitu PKB (58 kursi), Demokrat (54 kursi), PKS (50 kursi), PAN (44 kursi), dan PPP (19 kursi) diprediksi akan merapat ke salah satu poros. Bisa saja sebagian dari parpol-parpol ini membentuk poros baru jika menemukan titik temu untuk mengusung paslon di luar yang diusung poros PDIP-Gerindra atau poros Golkar- Nasdem. Sementara DPD dengan 136 kursi (sekitar 19%) di MPR akan terpecah sesuai kecendrungan masing masing anggota DPD dan lobi dari poros parpol pengusung.
Skenario politik dengan pasangan Prabowo-Puan atau pasangan lain yang berasal dari elit parpol tidak akan membawa perubahan berarti. Pasalnya mereka mewarisi DNA politik rezim Jokowi dan menjadi bagian integral rezim dengan segala trik politik yang dimainkannya selama ini untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Mereka tidak akan bisa keluar dari perangkap oligarki yang mengitari istana, juga tidak akan berani mengubah arah peta jalan rezim Jokowi yang didikte para taipan.
Lebih jauh, pasangan tersebut tidak akan mendapat kepercayaan dari rakyat, baik dari elemen pendukung maupun kontra Jokowi. Mereka akan dicap mengkhianati Jokowi dan merebut kekuasaan secara tidak langsung dari tangan Jokowi. Prabowo sendiri, misalnya, telah kehilangan kepercayaan dari sebagian pendukungnya setelah dirinya berkhianat dengan masuk ke gerbong rezim, menjadi anak buah Jokowi. Sementara, pendukung Jokowi tidak akan rela melihat Prabowo menikmati kekuasaan yang direbutnya dari Jokowi, kendati berpasangan dengan Puan.
Demi keselamatan masa depan bangsa, MPR harus berani keluar dari perangkap realitas politik elit, dan mengambil jalan lain. Sejumlah figur di luar elit parpol atau yang selama ini berada di luar pusaran kekuasaan dapat menjadi pilihan alternatif. Kita tidak kekurangan stok pemimpin berkualitas. Hanya saja, mereka tidak mendapatkan kesempatan tampil di pentas politik nasional akibat realitas politik yang sangat oligarkis dan culas.
)* Penulis adalah Ketua Pengurus Institute for Democracy Education (IDe)