telusur.co.id - Suatu realitas realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sistem-sistem lokal ini berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan kondisi sosial-budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan dikembangkan terus-menerus secara turun-temurun.
Berbagai kearifan lokal itu terdapat dalam norma-norma hidup, seperti: hukum adat sebagai produk budaya. Banyak kearifan lokal sebagai produk budaya tersebut patut terus dijadikan pegangan hidup. Kearifan lokal itu memang berwujud lokal, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat universal.
Adanya krisis ekologi akhir-akhir ini telah menimbulkan kesadaran baru bahwa krisis ekologi dapat bermanfaat dengan kembali kepada kearifan lokal masyarakat. Untuk menyelamatkan krisis ekologi tersebut, caranya dengan kembali ke etika masyarakat adat. Oleh karena itu, hak-hak masyarakat adatpun harus diakui dan dijamin oleh masyarakat dunia, termasuk oleh Negara dan pemerintahan di Indonesia.
Harus ada komitmen politik di tingkat global dan nasional untuk melindungi hak-hak masyarakat adat beserta seluruh kearifan lokalnya. Melalui jalan ini, bukan saja menyelamatkan keberadaan masyarakat adat beserta seluruh kekayaan dan kearifan lokalnya, melainkan juga menyelamatkan krisis ekologi.
Dalam webinar Bencana Perlindungan Hukum Masyarakat Berlandaskan Kearifan Lokal, Dr. Laksanto selaku Ketua Umum APHA menegaskan, “Akibat Hilangnya Hak Masyarakat Adat Atas Tanah adalah kearifan lokal masyarakat adat terhadap tanah, sumber mata pencaharian masyarakat adat, Ketergantungan masyarakat adat terhadap barang konsumsi , Rendahnya ketahanan pangan masyarakat adat, Konflik yang berkepanjangan dan Timbulnya degradasi lingkungan akibat aktivitas pertambangan, perkebunan dan aktivitas pembangunan ekonomi lainnya.
Lebih lanjut Ketua Umum APHA juga memberikan rekomendasi dalam acara webinar ini adalah UU tentang Masyarakat Hukum Adat segera dilibatkan, Masyarakat adat dilibatkan dalam proses Izin Usaha di wilayah tanah adat, Peningkatan Pengawasan Pemerintah dalam kegiatan pertambangan, Perkebunan dan aktivitas ekonomi lainnya di wilayah Tanah Adat serta Masyarakat adat perlu menikmati hasil dari SDA yang ada di tanah ulayatnya.
Sementara itu Prof. Syamsuddin dari Univ Islam Indonesia Yogyakarta dalam paparannya mengatakan “Bencana muncul dapat bersumber dari: luar angkasa, perut, hujan dan banjir, iklim dan musim, angin, penyakit dan perilaku sosial politik. Bencana terjadi ketika “MEKANISME KESEIMBANGAN ALAM”(Hukum alam/ Sunnatullah ) terganggu dan kemudian alam menemukan keseimbangan baru secara alami”
“Perlu kesadaran untuk menjaga menjaga “keseimbangan kosmis” dalam pengelolaan makro-kosmis maupun mikro-kosmis. Di sini pentingnya menjaga keseimbangan kosmis berbasis pada “Nilai-nilai Kearifan Lokal”. Nilai-nilai kearifan lokal tsb merupakan inti dan isi dari konsep “budaya hukum kearifan lokal, " ujarnya.
Prof. Syamsuddin juga menegaskan bahwa, “Setiap Masyarakat Adat memiliki budaya hukum (pengetahuan dan nilai-nilai) sebagai pedoman dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan (fisik dan sosial). Seperti apa wujudnya? Ini butuh kajian dan penelitian mendalam di masing-masing lingkungan masyarakat adat”.
Prof Dominikus Rato dari FH Univ Negeri Jember dalam paparannya menambahkan, Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Berlandaskan Kearifan Lokal Oleh Para Pembela, Penggiat, pemerhati Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Yang Sedang Mempertahankan Haknya Banyak Yang Mengalami Kriminalisasi, Hal ini merupakan “Bencana” bagi masyarakat hukum adat karena perlindungan hukum terhadap mereka terganggu dan terancam gagal”
Lebih lanjut Prof Rato juga mengatakan “Oleh karena perlindungan hukum terganggu dan terancam gagal, maka kelestarian lingkungan hidup yang mereka kelola berdasarkan kearifan lokal akan terancam tercerabut dari akar budaya dan habitat hidup mereka”.
Narasumber lainnya Dr. Sukirno dari FH Universitas Diponegoro mengaskan, “Pengakuan Kearifan Lokal adalah PERNYATAAN NEGARA sebagai penerimaan dan pengelolaan atas Kearifan Lokal yang diampu Masyarakat Hukum Adat dan/atau masyarakat setempat”
Lebih lanjut Dr. Sukirno menegaskan, “Perlindungan Kearifan Lokal suatu bentuk PELAYANAN NEGARA kepada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat dalam rangka menjamin perlindungan Kearifan Lokal dan keberadaan masyarakat pengampunya, serta pemenuhannya hak dan kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, agar hidup, tumbuh, dan berkembang sebagai satu kelompok masyarakat yang madani, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya”
RUU tentang Masyarakat Hukum Adat secara garis besar mengatur mengenai pengakuan atas masyarakat hukum adat dengan mengetahui, memverifikasi, validasi dan penetapan oleh menteri, yang memiliki hak dan kewajiban serta memiliki hak dan kewajiban serta pemerintah pusat, dan negara dapat berkewajiban terhadap bentuk jaminan pelaksanaan hak masyarakat hukum adat. Pembentukan RUU ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk memberikan kepastian atas pengakuan keberadaan masyarakat adat.
Tulisan ini mengkaji masalah hukum atas urgensi pembentukan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat sebagai bentuk pengakuan yuridis atas keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia
Acara webinar ini menampilkan pembicara Prof. Dr. M. Syamsuddin, SH, MH dari FH Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Prof. Dr. Domonikus Rato, SH, MSi dari FH Universitas Negeri Jember dan Dr. Sukirno, SH, MSi dari FH Universitas Diponegoro Semarang. Setelah acara webinar ini dilanjutkan dengan acara Callpaper dari hasil penelitian masing-masing dari berbagai universitas di Idnoensia.(Fie)