telusur.co.id - Oleh : Denny JA
- Suatu malam di Padel District Ciputat + Galeri Lukisan
Jumat malam, 12 September, pukul 22.00. Di Padel District Ciputat, lampu sorot berwarna hangat menembus kaca bening lapangan.
Di salah satu court, sebuah keluarga kecil bermain penuh keriangan. Pasangan muda, ayah dan ibu, bersama anak mereka yang baru berusia sebelas tahun.
Tawa si anak pecah setiap kali raket mungilnya berhasil mengembalikan bola. Ia berlari, menabrak pelukan ibunya, lalu berceloteh:
“Ma, aku menang poin dari Papa!”
Tak jauh dari situ, di tiga lapangan lain, suasana berbeda. Lebih dari dua puluh orang berkumpul. Sepuluh pasangan yang sebelumnya saling asing, kini menjadi lawan sekaligus kawan.
Mereka dipertemukan lewat aplikasi, dipandu oleh seorang EO amatir. EO itu sudah mem-booking lapangan jauh hari, lalu menjual slot permainan dengan margin lumayan.
Malam itu, mereka menggelar kejuaraan kecil-kecilan. Tidak ada panggung, tidak ada penonton resmi. Tapi sorak-sorai mengalir deras antara mereka, seolah dunia luar tidak ada.
Di luar lapangan, di sofa depan Kafe Nomu, sekelompok pengurus klub berdiskusi serius. Aroma espresso bercampur dengan keringat para pemain. Dari pengeras suara, gitar akustik lokal mengalun pelan.
Mereka melihat jadwal sewa yang padat, lalu merancang strategi baru.
Apakah mulai weekend depan, lapangan harus buka dari pukul 5 subuh hingga 2 dini hari? Bahkan ada yang mengusulkan: “Khusus Sabtu-Minggu, kita buka 24 jam!”
Mereka menghitung ulang biaya dan pemasukan. Tanpa membeli tanah, modal pembangunan padel kembali hanya dalam sebelas bulan.
Angka itu membuat mata mereka berbinar. Bukan hanya bisnis yang hidup, tapi sebuah komunitas yang tumbuh, seperti bola padel yang selalu kembali memantul.
Padel lahir tahun 1969 di Acapulco, Meksiko, ditemukan Enrique Corcuera. Namun bukan di tanah kelahirannya ia berjaya, melainkan di Spanyol.
Dalam beberapa dekade saja, padel menjadi olahraga kedua paling populer di negeri itu, hanya kalah dari sepak bola. Kini, lebih dari 25.000 lapangan berdiri di Spanyol.
Federasi Padel Internasional (FIP) bahkan mencatat pertumbuhan double digit tiap tahun, menjadikannya salah satu olahraga dengan ekspansi tercepat di dunia.
Yang membuat padel berbeda adalah kesederhanaannya. Permainan selalu berpasangan dua lawan dua, dengan lapangan lebih kecil dari tenis dan dikelilingi dinding kaca.
Dinding itu bukan sekadar pembatas, tapi bagian dari strategi permainan. Bola yang memantul bisa dimanfaatkan kembali. Seperti hidup, kekalahan kecil bisa dipantulkan menjadi kemenangan.
Justru karena sederhana, padel cepat memikat. Orang awam bisa memainkannya hanya setelah setengah jam belajar.
Tak perlu teknik serumit tenis, tak perlu stamina sebesar sepak bola. Namun justru dalam kesederhanaan itu lahir sebuah filosofi: padel bukan olahraga ego, tapi olahraga dialog.
Di Ciputat, keluarga yang bermain malam itu menemukan makna baru. Si anak tidak hanya belajar olahraga, tapi belajar kolaborasi.
Ia sadar bahwa dalam padel, ia tak bisa bermain sendirian. Setiap langkah harus serasi dengan pasangannya.
Bagi sepuluh pasangan asing yang dipertemukan aplikasi, padel menjadi jembatan sosial. Dalam satu jam, mereka saling menyapa, bercanda, bahkan bertukar nomor ponsel.
Ada yang kemudian sepakat bertemu lagi, bukan hanya di lapangan, tapi juga di meja bisnis.
Inilah yang membuat padel berbeda. Ia memaksa manusia untuk hadir penuh, bukan sekadar menatap layar gawai, bukan sekadar mengangkat beban sendirian di gym.
Padel adalah seni bersama. Bola hanya bisa hidup kalau ada pasangan yang mengembalikannya.
Secara teknis, padel dimainkan di lapangan berukuran 10x20 meter dengan skor mirip tenis, dan bola boleh memantul dinding kaca hingga setinggi 4 meter di bagian belakang lapangan.
Di Indonesia, popularitas padel meningkat pesat dalam dua tahun terakhir, ditandai ratusan lapangan baru dan komunitas urban yang terus berkembang.
Meski jumlah pasti pemain aktif belum dipublikasikan asosiasi resmi. Fenomena ini menandai padel bukan sekadar tren, melainkan bagian evolusi gaya hidup perkotaan modern.
Ketika pengurus Padel District Ciputat menghitung modal yang kembali hanya dalam sebelas bulan, mereka sadar: padel bukan sekadar olahraga, tapi mesin ekonomi baru.
Lapangan padel adalah magnet. Ia menarik bukan hanya pemain, tapi juga penonton, EO turnamen, kafe, bahkan galeri seni.
Lihatlah Sabtu-Minggu. Dari jam 6 pagi hingga tengah malam, jam 24.00, empat lapangan penuh. Puluhan, bahkan ratusan orang datang silih berganti.
Mereka membeli kopi, menyewa raket, memesan makanan. Perputaran uang terjadi tanpa henti.
Namun berbeda dari bisnis biasa, padel adalah bisnis yang mengikat komunitas. Orang datang bukan hanya untuk membayar sewa, tapi untuk merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Ini sebuah keluarga urban yang menemukan rumah baru di tengah kaca dan pantulan bola.
Di Madrid, banyak kesepakatan bisnis lahir di lapangan padel. Mengapa? Karena padel menciptakan suasana setara.
Di balik dinding kaca, seorang CEO bisa berpasangan dengan mahasiswa, seorang menteri bisa bermain melawan seniman jalanan. Tidak ada podium, tidak ada protokol. Hanya empat raket dan sebuah bola.
Lobi di meja makan bisa penuh kepura-puraan. Negosiasi di kantor bisa terasa kaku. Namun di lapangan padel, semua orang sama-sama berkeringat, sama-sama salah pukul, sama-sama tertawa.
Inilah seni lobi yang otentik, persahabatan lebih dulu, kesepakatan bisnis kemudian.
Padel District Ciputat bukan sekadar replika dari Madrid atau Barcelona. Ia diberi sentuhan lokal.
Di semua dindingnya, berdiri galeri lukisan saya (Denny JA) dengan lebih dari seratus karya. Tema eksistensial bercampur dengan tema sosial, diikat oleh gaya imajinasi Nusantara.
Ini galeri lukisan saya yang kesembilan. Di delapan hotel budget saya, semua dindingnya, jika hotelnya 7 lantai, dari lantai 1 hingga lantai 7, penuh dengan lukisan.
Ini era baru galeri pula. Lukisan tak lagi hanya dipajang di museum atau ruang eksklusif, tapi dibawa ke ruang publik: hotel budget, lapangan padel, hingga arena biliar.
Para pemain bisa beristirahat sejenak sambil menikmati karya seni, seolah olahraga dan estetika saling merangkul.
Tak jauh dari situ, ada 16 meja biliar. Bukan hanya remaja, tapi juga orang tua yang ingin bernostalgia dengan hobi lama.
Ada ruang diskusi dan ruang privat untuk acara komunitas. Dengan demikian, Ciputat bukan hanya punya lapangan padel, tapi sebuah simpul budaya baru, tempat olahraga, seni, dan percakapan sosial bertemu.
Filosofi Utama: Hidup adalah Pantulan
Mengapa padel cepat sekali naik daun? Karena ia bukan hanya olahraga. Ia adalah metafor kehidupan modern.
• Pantulan bola di dinding mengajarkan kita bahwa kegagalan bukan akhir. Seperti bola yang dipantulkan, hidup pun selalu memberi kesempatan kedua.
• Permainan berpasangan mengingatkan bahwa manusia tidak diciptakan untuk sendirian. Kita tumbuh lewat dialog, kolaborasi, dan tawa bersama.
• Kafe, galeri, dan komunitas yang mengelilingi lapangan adalah simbol bahwa manusia mencari lebih dari sekadar hiburan. Kita mencari rumah sosial, tempat merasa hidup dan berarti.
Padel naik daun bukan hanya karena mudah dimainkan, bukan hanya karena ekonominya menguntungkan.
Ia naik daun karena menyentuh inti terdalam manusia: kebutuhan akan kebersamaan yang otentik di zaman yang semakin individualistik.
Malam itu, keluarga kecil di Ciputat pulang dengan wajah cerah. Si anak terus bercerita tentang pukulan-pukulannya.
Sepuluh pasangan asing kembali ke rumah masing-masing, kini membawa nomor ponsel baru di saku.
Para pengurus klub melanjutkan rapat hingga dini hari, penuh rencana dan semangat.
Padel bukan lagi sekadar olahraga baru. Ia adalah ruang hidup, oasis modern, tempat energi fisik bercampur dengan energi sosial.
Dari Ciputat ke Jakarta, dari Indonesia ke dunia, padel menyebar cepat karena ia menawarkan sesuatu yang jarang ditemukan: tempat di mana tubuh, jiwa, dan komunitas bertemu dalam satu pantulan bola.
Dan pada akhirnya, bukankah hidup itu sendiri seperti padel? Kita selalu butuh orang lain untuk mengembalikan bola.
Kita selalu butuh pantulan agar permainan berlanjut. Dari pantulan itulah lahir tawa, persahabatan, lobi, karya seni, dan mungkin, sebuah bangsa yang lebih kohesif.
Padel pada akhirnya adalah simbol zaman baru: manusia yang lelah dengan kesendirian digital, mencari ruang nyata untuk tertawa, berkompetisi, dan berhubungan tanpa sekat status.
Ia bukan sekadar olahraga, bukan sekadar bisnis, melainkan sebuah budaya yang menyatukan tubuh, jiwa, dan sosial, menjadikan pantulan bola sebagai pantulan hidup.
Padel adalah metafor: manusia hanya bisa hidup penuh bila hidupnya dipantulkan kembali oleh orang lain.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, Penulis Buku, dan Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi (PHE).