Telusur.co.id - Oleh: Dr. H. Ahmad Zain Sarnoto, M.A. (Dosen Tetap Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta dan Direktur Lembaga Kajian Islam dan Psikologi [eLKIP])
Dalam era digital seperti sekarang ini, hoax atau berita bohong menjadi fenomena “lumrah” biasa dan gencar. Tidak sedikit oknum dan pihak-pihak yang dengan sengaja membuat dan merekayasa berita bohong demi keuntungan sesaat, entah karena motif politik atau sekedar mencari sensasi. Bahaya hoax atau berita bohong dapat menimbulkan fitnah dan dampak negatif lainnya, termasuk menjatuhkan nama baik seseorang.
Dampak hoax tidak mengenal tempat dan waktu, terkadang ditengah bencana seperti penyebaran Pandemi Covid-19 ini, ada oknum tertentu yang menyebarkan berita bohong, bahkan PBB melalui sekjennya meminta masyarakat mewaspadai kabar bohong dan informasi salah yang diedarkan melalui media sosial demi memantik ketakutan dan kepanikan di tengah Pandemi Covid-19.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) António Guterres pada sesi pengarahan di Markas PBB, New York, Amerika Serikat.
Bahkan menurutnya di saat dunia berjuang menghadapi pandemi Covid-19, krisis paling menantang yang dihadapi kemanusiaan sejak Perang Dunia II, kita juga menghadapi pandemi lain, yaitu Bahaya Pandemi Informasi Salah (https://republika.co.id)
Fenomena Berita bohong atau hoax sebenarnya bukan sesuatu yang baru, hoax pernah terjadi pada zaman nabi Muhammad SAW dan bahkan menimpa keluarga beliau sendiri. Berita bohong atau hoax berdampak sangat buruk pada kehidupan sosial seseorang, termasuk kepada Nabi Muhammad SAW yang notabene adalah rasul dan kekasih Allah.
Oleh karena itu, ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk melakukan klarifikasi (tabayyun) terhadap berita yang sampai kepadanya, mengapa, karena dikuatirkan berita tersebut adalah bohong (hoax) dan dapat berakibat buruk.
Maka, klarifikasi berfungsi untuk mendapatkan informasi yang jelas dan benar tentang berita tersebut, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujrat ayat 6, Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Sangat disayangkan ditengah masyarakat, masih banyak yang tidak peduli dengan kebenaran suatu informasi/berita, bahkan dikalangan terdidik sekalipun.
Sebagai seorang Muslim, sudah seharusnya kita lebih waspada dan berhati-hati ketika menerima informasi, terlebih saat bulan ramadhan dan sedang mewabahnya Pandemi Covid-19, bisa jadi berita yang kita dapatkan dan kita edarkan (share) kembali adalah berita bohong (hoax).
Dalam Al-Qur’an keberadaan orang-orang yang menyebarkan berita bohong (hoax) terdapat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu mengira berita bohong buruk bagi kamu bahkan ia baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapatkan balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa diantara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.” (QS. An-Nur, 24 : 11)
Karena begitu bahayanya berita bohong atau hoax, Al-Qur’an (Islam) melarang kaum muslimin menyebarkan berita (informasi) yang belum diketahui kejelasan dan kebenarannya, hal ini dikuatirkan ikut menyebarkan berita bohong (hoax) dan menyakiti orang lain. Allah SWT berfirman, yang artinya: “(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS: An-Nur, 24 : 15)
Ramadhan telah masuk di paruh waktu 10 hari kedua, semoga ibadah puasa yang kita jalani mampu mendidik kita menjadi pribadi yang mawas diri dan akhlak yang mulia. Karena ajaran Islam telah memberikan petunjuk kepada umatnya dalam menangkal berita bohong (hoax) yaitu dengan melakukan klarifikasi (tabayun) terlebih dahulu. Wallahu alam