telusur.co.id - Kementerian Pertanian (Kementan) mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.10 Tahun 2022 Tentang Tata Cata Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan tata kelola pupuk bersubsidi.
Terganggunya rantai pasok barang dan jasa selama pandemi Covid-19, efek buruk secara ekonomi dan politik akibat perang Rusia-Ukraina, serta saran dan evaluasi Panja DPR-RI mengenai pupuk bersubsidi dan kartu tani merupakan alasan pemerintah menerbitkan aturan baru terkait pupuk subsidi.
Menanggapi hal itu, Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf mengaku tidak mempersoalkan terkait peraturan tersebut. Menurutnya, yang terpenting bagi petani bukan hanya aturan tetapi juga ketersediaan pupuknya.
"Peraturan seperti apapun yang dibuat Pemerintah, petani tidak bisa tidak harus ikut atau patuh, bukan karena persoalan kebijakan makro," kata Rauf dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/7/22).
Prof Rauf juga tidak mempersoalkan soal jenis pupuk yang nantinya akan terfokus Urea dan NPK. Karena menurutnya, unsur mineral tertentu memang dibutuhkan demi kesuburan tanaman.
"Apapun jenis pupuknya tidak masalah yang penting memiliki kandungan unsur hara esensial N, P, dan K (untuk tanaman pangan). Akan lebih baik bila diperhatikan juga yang mengandung unsur hara S (sulfur) untuk tanaman bawang. Yang penting harus dijamin kontinuitas ketersediaannya di lapangan serta pupuk yang disubsidi berorientasi pada kebutuhan hara bagi tanaman," paparnya.
Namun, Prof Rauf juga memberikan saran dan masukannya terhadap pemerintah, dalam hal ini pihak Kementan sebagai pihak yang menentukan alokasi penyaluran pupuk, serta Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), yang memiliki tanggung jawab produksi dan distribusi pupuk bersubsidi tersebut harus lebih tanggap dalam menyediakan pasokan pupuk yang memadai.
"Saya juga sebagai Ketua Komisi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kab. Deli Serdang selalu berada di lapangan (bersama petani) yang selalu mengeluhkan keberadaan atau ketersediaan pupuk yang mereka butuhkan," tutup Prof Rauf.
Sementara itu, pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah, Surya Vandiantara pun berikan uraian serta dukungannya dalam kebijakan pupuk bersubsidi.
"Dalam persepektif ekonomi, Permentan No.10/2022 ini sangat jelas menunjukkan keberpihakan Kementerian Pertanian pada petani kecil yang memiliki luas lahan tidak lebih dari 2 hektar," jelasnya.
Lebih lanjut Surya juga mengatakan, peranan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) dipandang sebagai langkah kongkrit pemerintah dalam atasi ketidakmampuan petani kecil dalam memperoleh pupuk.
"Penetapan patokan HET untuk pupuk bersubsidi ini, tentunya dapat melindungi para petani kecil dari kenaikan harga pupuk yang tidak terkontrol. Sehingga para petani kecil bisa memaksimalkan keuntungan dari penurunan biaya produksi atas pembelian pupuk yang lebih murah," jelasnya.
Terkait peraturan pupuk bersubsidi ini, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo berharap agar seluruh stakeholder dan elemen masyarakat berikan dukungan terkait tata kelola pupuk bersubsidi yang lebih baik. Salah satunya dengan cara melakukan pengawasan terhadap penyaluran pupuk subsidi agar tepat sasaran.
“Saya mengajak seluruh masyarakat untuk ikut bersama-sama berpartisipasi dalam mengawal dan mengawasi penyaluran pupuk subsidi, mari berani melaporkan kalau ada penyelewengan, jangan takut,” terangnya. (Fhr)