telusur.co.id - Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, mendesak Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, membuka data produksi dan utilitas minyak goreng nasional kepada publik. Tujuannya agar publik tahu berapa banyak kapasitas produksi minyak nasional dan digunakan untuk keperluan apa saja.
"Termasuk juga data kelancaran aliran bahan bakunya, yakni CPO dengan harga DMO. Hal ini penting untuk memastikan bahwa suplai minyak goreng dari industri memang benar dalam kondisi aman," kata Mulyanto kepada wartawan Kamis (24/2/22)
Menurut Mulyanto, dengan dibukanya data produksi minyak goreng, masyarakat menjadi tahu perusahaan apa dan mana saja yang mengalami penurunan produksi, serta apa penyebab masalahnya.
Pasalnya, sudah tiga minggu kebijakan DMO CPO berjalan, tapi masih saja terjadi kelangkaan minyak goreng, baik di pasar tradisional maupun pasar ritel modern dan dengan harga yang masih melampaui HET (harga eceran tertinggi).
"Publik sekarang ini ribut karena ditemukan berbagai penyimpangan di bagian distribusi migor baik dugaan adanya penimbunan, pengalihan kuota untuk pasar tradisional ke industri, termasuk perhotelan, dan lain-lain," ujarya.
"Itu semua tidak akan menjadi masalah berlarut-larut kalau memang di sisi produksi minyak goreng memang benar-benar dalam kondisi stabil dan mencukupi," sambungnya.
Politikus PKS ini juga menyatakan, produsen migor semestinya bisa membuka akses langsung industri atau perhotelan sebagai konsumen besar. Sehingga mereka tidak terpaksa membeli migor (yang dialokasikan untuk pasar tradisional) di atas HET dari distributor nakal.
Dia tidak yakin ada masalah di sisi produksi bahan baku migor. Sebab, selama ini tidak pernah terdengar ada masalah iklim atau masalah sosial yang mengakibatkan terganggunya produksi bahan baku migor. Yang ada justru kabar melonjaknya harga jual internasional CPO.
Sehingga, bukan tidak mungkin ada eksportir CPO nakal yang tetap ingin memaksimalkan marjin keuntungan mereka dengan tidak mengindahkan kewajiban DMO.
Bagi Mulyanto, pengusaha yang serakah berpotensi tergiur dengan harga CPO internasional yang sedang bagus-bagusnya. Sehingga mereka mengabaikan kuota 20 persen untuk kebutuhan pasar domestik dengan harga DPO.
Akibatnya, industri minyak goreng kesulitan mendapat CPO sesuai harga DMO. Dampaknya, mereka tidak mampu memproduksi migor seharga HET dan terpaksa mengurangi produksinya.
"Saat ini adalah titik krusial kebijakan DMO CPO dengan DPO. Bila pada titik ini, aman maka secara logika turunannya di sisi distribusi akan kembali lancar. Karena pada bagian distribusi ini tidak ada intervensi kebijakan pemerintah yang baru," tukasnya.[Fhr]