telusur.co.id - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin mengatakan, aturan tentang penyelenggaraan pemilu, bahkan penundaan pemilu, adalah domain undang-undang, dan kewenangan untuk membuat undang-undang ini dipegang oleh DPR dan Pemerintah.
"Apakah bisa dibenarkan putusan pengadilan negeri melampaui kewenangan undang-undang?" kata Yanuar dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (3/3/23).
Menurut Yanuar, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan Pemilu ditunda ini agak aneh, janggal dan tidak lazim.
"Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah bertindak melampaui batas kewenangannya, dan terkesan sangat dipaksakan. Jika pengadilan paham hukum pemilu, maka gugatan Partai Prima semestinya ditolak," tegas Politikus PKB ini.
"Coba saja bayangkan, Partai Prima dirugikan karena tidak lolos verifikasi sebagai peserta pemilu 2024. Tapi tuntutannya malah meminta penundaan tahapan pemilu, yang berakibat pada penundaan pemilu hingga Juli 2025. Logikanya yang dituntut mestinya soal pembatalan keputusan KPU yang tidak meloloskan Partai Prima sebagai peserta pemilu. Lebih aneh lagi, pengadilan menerima dan mengabulkan tuntutan ini," imbuhnya.
Yanuar menuturkan, putusan PN Jakarta Pusat ini bukan saja mengacaukan sistem pengambilan keputusan soal yang berkaitan dengan seluk beluk Pemilu. Tetapi juga makin membuat keadaan lebih tidak terkendali.
"Seakan tidak ada lagi kepastian hukum dan hubungan kewenangan antar institusi di negara ini. Semua lembaga bisa semau-maunya bikin putusan," jelasnya.
Dia menjelaskan, sengketa tentang verifikasi parpol jalur penyelesaiannya ada pada Bawaslu. Dan yang berkaitan dengan etika diselesaikan melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ditegaskannya, tak ada satupun perintah dalam undang-undang yang memberi kewenangan kepada pengadilan negeri untuk memutus perkara perselisihan verifikasi partai politik.
"Suasana kacau ini makin membenarkan asumsi publik bahwa masih saja ada kekuatan yang menghendaki pemilu 2024 ditunda. Kekuatan ini tak berhenti untuk mencari celah penundaan pemilu 2024. Setelah MK dilibatkan, kini pengadilan diajak juga ikut serta dalam persekongkolan, pintu masuknya lewat parpol yang tidak lolos verifikasi.
"Gak tahu, nanti siapa lagi yang akan 'dipaksa' masuk dalam korporasi penundaan pemilu ini," katanya.
"Kejahatan hukum ini juga telah membuat DPR kehilangan kendali atas kewenangannya. Ini semacam proses alienasi lembaga legislatif untuk tidak ikut campur dalam urusan ini. Parpol koalisi pemerintah juga dibikin tak berkutik menghadapi sepak terjang para 'penjahat hukum' ini," pungkasnya.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima dengan memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk mengulang tahapan Pemilu. Hal tersebut berimbas pada penundaan Pemilu 2024 hingga Juli 2025.
Gugatan perdata kepada KPU RI, dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, yang diketok pada Kamis (2/3/23) itu dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022 lalu.
"Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya," demikian bunyi amar putusan PN Jakpus, dikutip Kamis (2/3/23).
Berikut putusan lengkapnya:
Tanggal Putusan Kamis, 02 Maret 2023
Amar putusan
M E N G A D I L I
Dalam Eksepsi.
Menolak Eksepsi Tergugat tentang Gugatan Penggugat Kabur/Tidak Jelas (Obscuur Libel); Dalam Pokok Perkara.
- Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
- Menyatakan Penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh Tergugat;
- Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
- Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada Penggugat;
- Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari;
- Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad);
- Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Tergugat sebesar Rp.410.000,00 (empat ratus sepuluh ribu rupiah). [Tp]