Keberadaan Dewan Pengarah BRIN yang Tak Penting Bikin Iptek Nasional Jalan Mundur - Telusur

Keberadaan Dewan Pengarah BRIN yang Tak Penting Bikin Iptek Nasional Jalan Mundur

Ketua Dewan Pengarah BRIN, Megawati Soekarnoputri

telusur.co.id - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, meminta pemerintah mengkaji ulang keputusan sentralisasi kelembagaan Iptek ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).  Apalagi dengan adanya Dewan Pengarah, yang secara ex-officio Ketuanya dari BPIP dan dengan kewenangannya yang besar.
 
"Banyak ahli menyebut program sentralisasi kelembagaan Iptek, kontra-produktif dengan upaya pengembangan riset nasional.  Karena terlalu banyak fungsi-fungsi organisasi yang melekat dan terpusat pada lembaga ini, sehingga diragukan operasional," kata Mulyanto kepada wartawan, Jumat (10/9/21).
 
Mulyanto memaparkan, jurnal sains cukup terkenal, yaitu Nature, dalam editorial tanggal 8/9/2021 menulis bahwa ada kekhawatiran intevensi politik dalam BRIN, sebagai lembaga baru terpusat ini (super agency). Nature menulis dari hasil komunikasi dengan komunitas sains, bahwa perubahan ini tidak populer di kalangan ilmuwan, bahkan dikatakan pembentukan BRIN setback bagi pembangunan sains di Indonesia.
 
"Tidak diragukan, bahwa pembentukan lembaga sains yang terpusat ini mencerminkan reorganisasi yang ambisius, namun tidak jelas bagaimana BRIN dapat membantu Indonesia dengan ambisi teknologinya," tulis Nature.
 
Karena itu, Mulyanto meminta Pemerintah mau mendengar pandangan para ahli tersebut secara objektif. Ia menganggap, di tengah Pandemi Covid-19, dilakukan pembubaran Kemenristek, BPPT, BATAN, LAPAN dan LIPI serta peleburan 44 Balitbang Kementerian teknis ke dalam BRIN, merupakan langkah yang tidak tepat. "Semestinya kita fokus untuk menyelesaikan pandemi ini, bukan malah menambah masalah baru."
 
Bagi politikus PKS ini, pemerintah terkesan grasa-grusu dalam mengambil kebijakan pembubaran Kemenristek dan penggabungan lembaga riset yang ada. Seharusnya dilaksanakan dengan cermat dan seksama.  

Sebab, konsolidasi dan adaptasi tugas-fungsi kerja, SDM, peralatan, laboratorium, lahan percobaan, asset, manajemen dan administrasi, apalagi budaya riset di masing-masing lembaga membutuhkan kecermatan dan waktu yang tidak sedikit.

Apalagi yang terbentuk adalah lembaga super-duper terpusat dengan banyak fungsi campur aduk. Mulai dari fungsi: perumusan dan penetapan kebijakan, koordinasi pelaksanaan kebijakan; pengawasan dan evaluasi kebijakan baik di pusat maupun daerah (fungsi-fungsi ex Kemerinstek). 

Temasuk melaksanakan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan Iptek dari invensi sampai inovasi untuk seluruh bidang ilmu dari sains-teknologi sampai ilmu sosial-budaya-politik (fungsi-fungsi ex 4 LPNK + 44 Balitbang Kementerian).

Bukan hanya itu, ditambah 2 fungsi lagi, yakni fungsi penyelenggaraan ketenaganukliran (fungsi ex BATAN); serta fungsi penyelenggaraan keantariksaan dan penerbangan (fungsi ex LAPAN).

Lalu, adanya Dewan Pengarah, yang ketuanya secara ex-officio dari BPIP.  Padahal BRIN tidak membutuhkan Dewan Pengarah dalam menjalankan tugasnya, apalagi yang bersifat ideologis dari BPIP.
 
"Logikanya kurang masuk. Kalau dicari-cari mungkin saja ada hubungan antara haluan ideologi Pancasila dengan riset dan inovasi, namun hubungan itu terlalu mengada-ada dan memaksakan diri," kata mantan sebagai Sesmen di Kemenristek era SBY itu.
 
“Saya tidak bisa membayangkan kerja dari organisasi dengan segudang fungsi tersebut, apalagi dibebani dengan tugas-tugas ideologis.  Jadi saya setuju dengan apa yang ditulis Jurnal Nature, bahwa sentralisasi kelembagaan Iptek ini setback bagi pembangunan sains di Indonesia," tukasnya.[Fhr] 


Tinggalkan Komentar