telusur.co.id - Tanggal 24 Juli bukan lagi sekadar tanggal biasa. Sejak ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2023, tanggal ini menjadi tonggak penting dalam sejarah budaya Indonesia: Hari Kebaya Nasional.
Meski baru berusia dua tahun dan belum berstatus sebagai hari libur nasional, gelombang euforia terhadap peringatan ini terus membesar. Tidak hanya digemakan oleh para pegiat budaya, Hari Kebaya Nasional juga disambut antusias oleh generasi muda yang kini bangga menyandang kebaya sebagai simbol identitas nasional—dan bahkan sebagai pernyataan sikap.
Dulu Dicap Kuno, Kini Kebaya Jadi Simbol Gaya dan Perlawanan Budaya
Kebaya tak lagi dipandang sebagai pakaian “jadul” atau eksklusif milik para bangsawan tempo dulu. Kini, lewat inovasi fesyen dan semangat nasionalisme, kebaya hadir dengan wajah baru—lebih modern, fleksibel, dan inklusif. Dipakai di kampus, kantor, hingga runway internasional, kebaya telah berevolusi menjadi pakaian yang tak lekang oleh zaman.
Gerakan “Selasa Berkebaya” pun jadi fenomena sosial yang menggugah. Ia bukan hanya tentang pilihan berbusana, melainkan bentuk nyata pelestarian budaya sekaligus gerakan perlawanan terhadap dominasi budaya luar.
Akar Sejarah: Jejak Fatmawati dan Seruan Soekarno
Penetapan Hari Kebaya Nasional tak lepas dari catatan sejarah panjang. Semuanya berawal dari Kongres Wanita Indonesia (KWI) ke-10 pada tahun 1964, saat seluruh peserta mengenakan kebaya sebagai bentuk penghormatan kepada Ibu Negara Fatmawati Soekarno, ikon kebaya Indonesia.
Presiden Soekarno yang hadir kala itu dengan lantang menyatakan bahwa “revolusi Indonesia tak bisa berjalan tanpa peran perempuan.” Seruan ini menjadi landasan filosofis penetapan 24 Juli sebagai Hari Kebaya Nasional oleh Presiden Joko Widodo enam dekade kemudian.
Dari Istora ke UNESCO: Perempuan Berkebaya, Indonesia Berdaulat
Peringatan pertama Hari Kebaya Nasional pada 24 Juli 2024 digelar megah di Istora Senayan, Jakarta, di bawah naungan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang dipimpin oleh Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo. Mengusung tema “Lestarikan Kebaya, dengan Bangga Berkebaya”, lebih dari 9.250 perempuan dari seluruh pelosok negeri tampil anggun dalam berbagai gaya kebaya daerah.
Presiden Jokowi, Ibu Negara Iriana, serta para pejabat tinggi negara turut hadir. Momen ini bukan hanya perayaan budaya, tapi juga deklarasi nasional bahwa kebaya adalah identitas, bukan sekadar estetika.
Puncaknya, kebaya kini telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO, berkat kerja sama lintas negara di Asia Tenggara seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Pengakuan internasional ini mempertegas posisi kebaya sebagai warisan regional yang tak ternilai.
Lebih dari Sekadar Peringatan: Inilah Misi Hari Kebaya Nasional
Hari Kebaya Nasional bukan seremoni hampa. Ia hadir dengan misi strategis:
-
Menumbuhkan kesadaran budaya: Mengingatkan bahwa kebaya adalah bagian dari jati diri bangsa.
-
Melestarikan warisan leluhur: Mendorong penggunaan kebaya dalam kehidupan sehari-hari.
-
Memupuk nasionalisme dan persatuan: Karena kebaya menyatukan keberagaman Nusantara.
-
Mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif: UMKM, penjahit, dan desainer lokal kebaya kini punya panggung.
Kebaya: Dari Tunik Arab-Portugis ke Identitas Perempuan Indonesia
Istilah "kebaya" sendiri memiliki akar dari berbagai bahasa: Arab kaba, Portugis caba/cabaya, dan Tiongkok. Busana ini sudah dikenal sejak abad ke-15 hingga ke-16, dan awalnya digunakan dalam upacara adat.
Namun kini, ia telah menjelma jadi simbol modernitas yang tetap setia pada akar budaya. Di tangan desainer lokal, kebaya tampil sebagai busana kontemporer yang tak kehilangan nilai historisnya.
Kebaya Bukan Cuma Warisan, Tapi Perlawanan
Di tengah gempuran budaya global dan arus homogenisasi fesyen dunia, kebaya berdiri tegak sebagai simbol keteguhan Indonesia menjaga jati dirinya. Hari Kebaya Nasional bukan hanya ajakan untuk mengenakan busana tradisional, tapi ajakan untuk kembali ke akar, menghormati sejarah, dan mencintai negeri ini lewat cara yang paling elegan: berkebaya.[]