Dewi Menangisi Matinya Belasan Orang Utan di Bencana Sumatra - Telusur

Dewi Menangisi Matinya Belasan Orang Utan di Bencana Sumatra

Flyer Denny JA 2025; “Dewi Menangisi Matinya Belasan Orang Utan di Bencana Sumatra”

telusur.co.idOleh : Denny JA

Sebuah Puisi Esai

(Banjir Sumatra bukan hanya menelan lebih dari 1.000 nyawa manusia,
tetapi juga satwa sangat langka yang disayangi para ilmuwan dunia:
belasan Orang Utan Tapanuli)

Hujan turun sebagai palu para dewa,
yang tak lagi menghitung
tulang-belulang di bawahnya.

Langit membuka
semua arsip dendamnya sekaligus.
Dan bumi,
tanpa sempat menutup mata,
dipaksa menerima
vonis yang bengis.

Di antara lumpur, kayu, dan puing yang mengeras
bagai makam darurat,
sebuah tengkorak orang utan
menatap kosong.

Rambut kemerahan itu
masih melekat,
menjadi kalimat terakhir
yang belum sempat diucapkan:
aku pernah hidup di sini.

Di kota yang jauh dari hutan,
Dewi membaca koran The Guardian, berkali-kali.

Ia mengulang-ulang kabar kematian, agar rasa sakit
benar-benar nyata.

Matanya berhenti
pada satu angka:
belasan orang utan mati.
Dan dadanya runtuh
menjadi tebing basah.

Dewi mencari penerbangan
ke Sumatra Utara secepat doa
bisa berlari.

Baginya, hutan bukan pemandangan, melainkan tubuh lain yang ikut bernapas
di dadanya.

Orang utan bukan satwa,
melainkan sepupu jauh
yang tak pernah belajar berbicara, namun paham
arti kehilangan.

Di pesawat,
ia membayangkan hujan
jatuh lebih dari seribu milimeter
dalam empat hari:

air yang tak lagi
mengenal belas kasihan,
air yang datang sebagai tentara tanpa seragam.

Banjir itu tidak hanya menenggelamkan rumah manusia, tetapi juga masa depan makhluk
yang hanya melahirkan
satu anak setiap enam
hingga sembilan tahun.

Batang Toru, hutan sempit
yang memikul seluruh dunia orang utan.

Telah lama ia dijepit seperti dada di antara dua batu:
tambang emas,
kebun sawit,
bendungan yang berdandan
sebagai kemajuan.

Banjir kali ini
bukan tamu asing;
ia hanya penyempurna
dari luka-luka lama.

Citra satelit menunjukkan
luka raksasa menganga
di pegunungan,
seperti bumi yang dikoyak
kuku raksasa.

Empat ribu hektare hutan
lenyap dalam sekejap.
Pohon-pohon tercerabut
bagai ingatan
yang dipaksa lupa.

Segala yang dilewati air
menjadi sejarah tanpa saksi:
tanah, gajah, dan orang utan
yang tak sempat berlari.

Saat Dewi tiba,
hutan terasa sunyi
secara tak wajar.

Kesunyian yang terlalu rapi,
seperti ruangan setelah jenazah diangkat.

Tak ada buah.
Tak ada bunga.
Tak ada suara,
yang biasanya mengingatkan:
hidup masih berlangsung.

Amarah Dewi tumbuh perlahan,
dingin dan tajam.

Ia marah pada tangan-tangan
yang menebang tanpa pernah
menyentuh tanah dengan hati.

Pada keputusan yang menyebut hutan sebagai angka, dan nyawa sebagai risiko yang diabaikan.

Orang utan tidak punya mikrofon.
Ia tidak menulis siaran pers.
Ia mati dalam diam.

Dan diam itulah yang kini berteriak paling keras
di dada Dewi.

Para ilmuwan menyebutnya:
gangguan setingkat kepunahan.

Istilah yang terdengar rapi,
padahal yang terjadi adalah pemutusan masa depan
tanpa upacara.

Jika satu persen saja hilang tiap tahun, kata ilmu pengetahuan, kepunahan
orang utan hanyalah soal waktu.

Namun kali ini,
waktu dipadatkan.
Dan kehancuran datang
dalam beberapa hari,
seperti kilat yang tak sempat disadari.

Dewi berdiri di tepi lumpur,
menangisi belasan orang utan,
seolah menangisi bagian dari dirinya sendiri,
yang tak pernah diberi kesempatan untuk tumbuh tua.

Mungkin suatu hari,
ketika orang utan Tapanuli tinggal nama di buku pelajaran,
kita akan berkata: mereka kalah oleh banjir.

Padahal sesungguhnya,
mereka kalah oleh cara kita
menyebut pembangunan
tanpa memuliakan kehidupan.

Dan barangkali, yang paling tragis bukanlah kepunahan mereka,  melainkan kenyataan
bahwa kita melihat semua tanda itu datang,
namun tetap melangkah maju,
seolah tak ada
yang sedang sekarat
di bawah kaki kita.

Di kepalanya, Dewi melihat kalender terbalik:  
setiap tahun yang gugur  
adalah daun terakhir Batang Toru,  
jatuh pelan-pelan  
ke jurang yang kita sebut  
peradaban.

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, Penulis Buku, dan Komisaris Utama PT. Pertamina Hulu Energi (PHE). 


Tinggalkan Komentar