Oleh : Smith Alhadar
DI TENGAH krisis kepemimpinan di Indonesia, media asal Inggris, The Economist, pada 6 Juni menurunkan berita tentang Presiden RI Joko Widodo menghadapi pesaing baru, yaitu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Judul beritanya adalah "Indonesia's President Has a New Rival" atau "Presiden Indonesia Punya Saingan Baru."
Memang sejak awal covid-19 merebak di Jakarta, benturan Anies dan Jokowi tak terhindarkan yang bersumber dari perbedaan cara pandang bagaimana menghadapi pandemi itu. Jokowi melihatnya sebagai kesempatan untuk menggenjot pariwisata dan investasi, sementara Anies berkonsentrasi pada penyelamatan warga Jakarta. Perbedaan cara pandang ini menempati Anies dalam posisi unggul atas Jokowi. Terutama karena kebijakan Jokowi tidak konsisten dan kredibel.
Sudah sejak Januari Pemprov DKI mendeteksi adanya kasus covid-19. Dan Anies hendak mempublikasikannya sebagai respons awal agar semua pihak mengantisipasi merebaknya wabah berbahaya ini. Namun, Jokowi membungkamnya dan para pembantunya mengembangkan narasi bahwa Indonesia bebas corona. Bahkan, menolak tindakan Anies melakukan tes sendiri terhadap suspect corona di laboratorium milik DKI. Semua suspect hanya boleh diuji di laboratorium milik pempus. Bagaimanapun, Anies heran hasil tes yang dilakukan pempus selalu negatif. Sekali lagi, publik percaya pada kecurigaan Anies bahwa Jokowi sengaja mengelabui publik.
Memang Jokowi ingin mengendalikan narasi corona sesuai tujuannya. Yakni, mencegah corona berdampak pada ekonomi. Namun, Anies terus melawan dan bekerja dengan serius untuk mencegah penularannya. Ketika Anies ingin melakukan lockdown atau karantina wilayah di Jakarta, Jokowi justru menyatakan kebijakan lockdown merupakan wewenang pempus. Bila pemda hendak melakukannya, maka mereka terlebih dahulu harus minta izin dan mengajukan alasan-alasan mengapa karantina wilayah perlu dilakukan di daerah mereka. Anies mengkritik kebijakan ini. "Seolah-olah kami mengusulkan proyek yang membutuhkan studi kelayakan. Tidak bisakah Kemenkes melihat bahwa kita menghadapi peningkatan jumlah kematian? Apakah itu belum cukup?" (The Economistcom, 6 Juni 2020).
Setelah berminggu-minggu menyembunyikan data dan fakta, pada 2 Maret Jokowi mengakui corona sudah masuk Indonesia menyusul dua orang meninggal dunia akibat terpapar covid-19. Itu pun setelah WHO menekan Indonesia untuk menangani corona secara profesional dan transparan. Pengakuan ini merupakan kemenangan sekali lagi Anies atas Jokowi. Tapi nanti pada 31 Maret baru Jokowi memberlakukan darurat bencana nasional. Ia pun akhirnya terpaksa mengikuti Anies memberlakukan karantina wilayah atau yang dikenal sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang di antaranya menyerukan belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah.
Pamor Anies pun menjulang. Sebaliknya, sosok kepemimpinan Jokowi jeblok. Krisis covid-19 yang menghadapkan Anies dengan Jokowi merupakan kesempatan bagi Anies untuk mendefinisikan dirinya. Terlihat kepemimpinan, kecerdasan, dan keteguhan hatinya dalam memimpin melampaui Jokowi. Tak heran kalau kemudian publik menjulukkan Anies sebagai gubernur rasa presiden. Kenyataan ini tentu tak dikehendaki Jokowi yang melihat Anies sebagai matahari kembar, yang bisa jadi mengancam kedudukannya.
Seiring perjalanan waktu, kepemimpinan Anies semakin moncer. Publik lebih percaya padanya ketimbang Jokowi yang tak becus menangani covid-19. Kebijakan-kebijakannya yang simpang siur, berubah-ubah, dan tak kredibel, membuat publik menjadikan kebijakan Anies yang tegas, jelas, dan rasional sebagai rujukan. Karena itu, dengan sangat terpaksa Jokowi mengekor pada kebijakan Anies yang memang mendapat pujian warga domestik dan komunitas internasional. Hal ini pun membuat Jokowi gelisah.
Dalam konferensi internasional virtual tentang bersama menangani corona yang dihadiri 40 gubernur dan walikota seluruh dunia, Anies mendapat kehormatan untuk bicara tentang pengalaman Jakarta menangani covid-19. Dengan bahasa Inggris yang fasih, ia bicara tentang corona yang dihadapi warga Jakarta dan hal-hal di luar itu. Tulisan ini tidak diniatkan untuk merinci tentang materi yang disampaikan Anies itu, yang relevan adalah bagaimana Anies dipercaya sebagai sosok penting yang kredibel dalam menanggulangi corona. Memang berbeda dengan Jokowi, Anies menghadapi corona dengan disiplin ilmu yang relevan, yang dapat difahami oleh masyarakat cendekia.
Sebenarnya, persaingan Anies dan Jokowi sudah terjadi jauh sebelum wabah covid-19. Dalam pilgub DKI tahun 2017, Jokowi mendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melawan Anies. Namun, Anies memenangkan pertarungan sengit itu. Benturan Anies dan Jokowi terjadi lagi ketika Anies menghentikan proyek reklamasi 14 dari 17 pulau di pantai utara Jakarta. Bujukan Jokowi agar Anies melanjutkan reklamasi berakhir sia-sia.
Maka, Jokowi membalas dendam dengan mengkritik Anies terkait banjir di Jakarta pada akhir tahun lalu sampai Januari. Pada momen ini kita melihat Anies melakukan perlawanan secara terbuka terhadap Jokowi. Hal itu berlanjut menghadapi covid-19. Kebijakan Anies beberapa kali dimentahkan Jokowi. Ketika Anies membatasi jam operasi dan penumpang bis, KRT, dan MRT, Jokowi menghadangnya dengan membatalkannya. Demikian juga ketika Anies melarang ojol mengangkut penumpang.
Perlawanan Anies terhadap Jokowi masih berlangsung. Tapi ibarat tinju, Jokowi yang berada di kelas bulu harus menghadapi Anies di kelas berat. Pertarungan berlangsung tidak seimbang jadinya. Yang dimaksud The Economist bahwa Jokowi punya pesaing baru tentunya di bidang otoritas formal. Jokowi adalah presiden yang menghadapi gubernur yang cekatan. Dalam hal lain, misalnya kharisma, kepemimpinan, dan kecerdasan, tentu Anies bukan pesaing Jokowi.
Memang kalau melihat kualitas Jokowi di segala bidang, jelas ia kedodoran di hadapan Anies. Sosok yang disebut terakhir inilah yang layak menjadi presiden. Tak heran, dalam jajak pendapat yang dilakukan lembaga-lembaga survey belakangan ini, Anies menempati peringkat pertama untuk presiden 2024. Urutan kedua berada jauh di bawahnya. Dengan demikian, dilihat dari elektabilitasnya, Anies dipandang paling layak memimpin Indonesia. Ia punya syarat yang komplit untuk itu.
Namun, apakah Anies berpeluang bila Jokowi mundur atau dimakzulkan di tengah jalan? Kendati berkualitas, Anies tidak memiliki cukup dukungan parpol. Setidaknya untuk saat ini mungkin hanya PKS dan Nasdem yang "bersedia" mendukungnya. Dus, peluangnya kecil kalau Jokowi berhenti di tengah jalan. Para elite pemimpin partailah yang berpeluang paling besar. Apa pun, politik itu dinamis. Kelebihan Anies adalah ia tokoh independen, yang bisa jadi alternatif ketika parpol-parpol sulit bersepakat tentang calon dari elite parpol. Kalau sudah takdir, tak ada seorang pun yang dapat menolaknya.
Editor: Abdurrahman Syebubakar