telusur.co.id - Pemerintah diminta evaluasi kebijakan ekonomi yang mengakibatkan kenaikan utang terus menerus. Sebab, dampaknya, pajak juga naik sementara pertumbuhan ekonomi masih negatif.
"Utang pemerintah terus meningkat secara jumlah dan ratio terhadap PDB. Sejak tahun 2015 hingga tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19. Bahkan utang menjadi sumber utama pembiayaan pemerintah ketika pandemi Covid-19," kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR, Sukamta, dalam keterangannya, Kamis (17/6/21).
Menurut Sukamta, porsi utang yang sudah di atas 30 persen dan tingkat imbal hasil/bunga yang tidak efisien, sangat memberatkan. Bahkan dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN.
"Jumlah utang yang terus membesar pada akhirnya rakyat Indonesia yang harus menanggung beban dengan kenaikan dan penambahan jenis pajak. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki inovasi kebijakan fiskal," tegasnya.
Anggota DPR RI ini menguraikan, berdasarkan data dari Menteri Keuangan, utang pemerintah per akhir April 2021 telah mencapai Rp 6.527,29 triliun. Utang melonjak 26 persen atau Rp 1.355 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2020 sebesar Rp 5.172,48 triliun. Akibatnya, rasio utang pemerintah pun mencapai 41,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Sukamta menyayangkan, kenaikan utang dan jumlahnya cukup besar, ternyata tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Indonesia pada kuartal I-2021 masih resesi, hanya tumbuh negatif 0,74 persen padahal anggaran pemulihan ekonomi sangat besar.
Kemudian, realisasi anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 hingga 21 Mei 2021 sebesar Rp183,98 triliun, atau sebesar 26,3 persen dari total pagu anggaran Rp699 triliun.
"Namun, sebagian besar anggaran dipergunakan untuk membayar utang, belanja konsumtif rutin pemerintah yaitu pegawai dan barang. Sedangkan belanja modal rendah. Akibatnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara tumbuh lambat," tuturnya.
Sementara itu, selain menambah utang pemerintah juga terus menaikan berbagai pajak yang potensial menjadi sumber pendapatan negara. Salah satu yang menyita perhatian publik ialah rencana pajak untuk sembako. Hal ini membuat rakyat merasa semakin diperas oleh negara.
"Berbagai sektor dan aktivitas masyarakat kini dipajaki. Namun pada sisi lain, ketika pajak bertambah namun tidak terjadi peningkatan kesejahteraan dan tidak tersedianya lapangan kerja dari beragam proyek pemerintah. Alhasil rakyat merasa ada ketimpangan ekonomi luar biasa," sesalnya.
Sukamta berharap, pemerintah harus mencari mekanisme untuk pembiayaan negera sekaligus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa memberatkan rakyat Indonesia.[Fhr]