Proses penegakan hukum terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe terus bergulir, terkait penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar. Berbagai manuver pun dilakukan Lukas Enembe melalui tim kuasa hukumnya.
Namun manuver itu sepertinya justru menjadi bumerang baginya, saat Stefanus Roy Rening menyebut dugaan korupsi yang menyandung kliennya tidak terlepas dari upaya kriminalisasi yang dilakukan sejumlah elite dan terkait dengan situasi politik di Papua.
Bahkan dia menyebut nama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, dan mantan Kapolda Papua Paulus Waterpauw.
Menanggapi hal tersebut Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pun menyesalkan apa yang diungkapkan oleh Kuasa Hukum Lukas Enembe.
"Kami menyesalkan pernyataan yang diungkapkan oleh Kuasa Hukum Lukas Enembe, Stepanus Roy Rening. Pasalnya apa yang diucapkan oleh Roy justru akan mempengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang disebutnya," kata Ketua Umum DPP KNPI La Ode Umar dalam keterangan tertulisnya, Rabu (28/9/22).
Bonte mengatakan, pihaknya mendesak penegak hukum untuk segera melakukan proses hukum terhadap kuasa hukum Gubernur Papua. Menurutnya, tidak dibenarkan jika seorang kuasa hukum menuduh tanpa adanya bukti.
"Terkait dengan kasus yang dihadapi oleh Lukas Enembe harusnya dia bisa menggunakan jalur hukum jika memang tidak terima ditetapkan sebagai tersangka, bukan dengan jalur politik. Jalur hukum yang bisa dilakukan bisa saja dengan melakukan pra peradilan, bukannya malah koar-koar tidak jelas melalui seorang kuasa hukum," ujarnya.
Bonte menilai, kuasa hukum Lukas ini justru terkesan tidak paham hukum. Kalau dia tidak terima dengan penetapan tersangka oleh KPK, harusnya tidak demikian caranya.
"Justru dengan apa yang dilakukannya saat ini seperti seolah-olah menghalang-halangi proses penegakan hukum. Dan dia tidak percaya dengan penegakan hukum, itu bisa diartikan dia sudah menghalang-halangi proses penegakan hukum," ucapnya.
Bonte menduga kuasa hukum Lukas Enembe telah melakukan obstruction of justice seperti yang diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi (UU Tipikor). Hal tersebut diatur dalam Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Dijelaskan dalam pasal itu setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas tersangka atau terdakwa ataupun saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun," tuturnya.
Selain aturan dalam UU Tipikor, tambah Bonte, tindakan obstruction of justice juga telah disepakati di Konvensi PBB tentang Anti-Korupsi (UN Convention Against Corruption/UNCAC). Pasal 25 mengamanatkan negara peratifikasi wajib melakukan tindakan politik dan hukum untuk melawan tindakan yang menghalangi proses hukum kasus pidana korupsi.
"Hal ini berarti KPK punya kewenangan penuh memproses setiap orang yang berusaha menghambat sebuah perkara korupsi yang sedang ditangani KPK," ungkapnya.
Apalagi, sambung Bonte, terkait apa yang dituduhkan oleh Roy Rening yang seolah-olah Jenderal Budi Gunawan, Jenderal (Purn) Tito Karnavian dan Komjen (Purn) Paulus Waterpauw ibarat sebuah sindikat maut dalam penegakan hukum itu tidaklah dibenarkan.
Sehingga menurutnya, hal tersebut dikategorikan seperti memberikan informasi palsu (hoax). Sementara orang yang telah memberikan keterangan itu bisa dipidana sesuai dengan undang-undang yang ada.
"Kami sebagai pemuda Indonesia justru sangat mendukung para penegak hukum untuk melakukan tugasnya, terlebih terhadap pemberantasan korupsi yang terjadi di Indonesia terkhusus Papua. KPK tidak boleh gentar untuk menghadapi seorang Lukas Enembe, terlebih dia sudah dua kali mangkir dari panggilan KPK," tegasnya. (Fhr)