telusur.co.id - Fraksi PKS DPR menolak dua pasal dalam RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) pada Rapat Pengambilan Keputusan yang dilaksanakan Komisi VII DPR RI, Kamis (1/7/21). Keduanya ialah Pasal 40 soal dengan kewajiban PLN untuk membeli listrik EBT dan Pasal 51 terkait subsidi selisih harga antara listrik EBT yang ditawarkan terhadap biaya pokok pembangkitan (BPP).
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, Mulyanto menilai, ketentuan kewajiban pembelian listrik oleh PLN dan feed in tariff (FIT) alias subsidi selisih harga terhadap BPP (biaya pokok pembangkitan) PLN dalam penentuan harga jual listrik pembangkit swasta kepada PLN, kurang tepat. Ketentuan ini akan menekan keuangan negara dan lebih memihak kepada produsen listrik swasta (IPP).
“Sementara di sisi lain keuangan PLN juga kembang-kempis dengan beban utang mencapai Rp 500 triliun. Kalau kewajiban tersebut bersifat obligatif maka PLN akan bangkrut dan hanya akan menghasilkan listrik yang mahal untuk masyarakat. Masyarakat senang dengan listrik yang bersih dari sumber EBT ini namun listrik yang murah masih sangat dibutuhkan masyarakat,” ujar Mulyanto.
Ia menjelaskan, untuk EBT berdaya kecil dan berada di daerah pedalaman, di mana EBT adalah satu-satunya sumber energi listrik, maka menjadi wajar dan masuk akal kalau negara mensubsidi listrik EBT ini. Namun untuk listrik EBT berdaya menengah dan besar, sudah seharusnya didorong mekanisme yang lebih kompetitif dan sehat untuk pengusaha listrik swasta ini.
“PLN akan bangkrut, kalau setiap listrik swasta yang mahal wajib dibeli PLN. Kita kan tahu siapa pemilik pembangkit listrik swasta tersebut,” ungkapnya.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR ini memandang, kewajiban pembelian listrik oleh PLN tidak bisa serta-merta tetapi harus tetap mempertimbangkan keekonomian yang berkeadilan.
Pemerintah harus mempertimbangkan kemampuan keuangan PLN, keberlangsungan penyelenggaraan ketenagalistrikan, serta memperhatikan keselarasan supply dan demand, ketersediaan sumberdaya energi setempat, serta tingkat keekonomian sesuai dengan biaya pokok pembangkitan (BPP) sesuai hasil lelang yang adil.
“Sumber EBT yang lain harus belajar dari sumber energi surya (PLTS), yang bersama perkembangan teknologi dan ekosistem bisnis yang baik, harganya terus turun,” demikian kata Mulyanto.
Untuk diketahui, setelah diambil keputusan hari ini, RUU EBT dijadwalkan akan dibawa ke Badan Legislasi DPR RI untuk diharmonisasi dan diputuskan dalam Sidang Paripurna DPR RI. RUU EBT adalah inisiatif DPR RI yang masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2021.
Teks Pasal 40 ayat (1): Perusahaan listrik milik negara wajib membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari Energi Terbarukan.
Sedang Pasal 51 ayat (4): Dalam hal harga listrik yang bersumber dari Energi Terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik perusahaan listrik milik negara, Pemerintah Pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisih harga Energi Terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau Badan Usaha tersebut.[Fhr]