telusur.co.id - Diharuskannya surat dukungan DPD I dan DPD II Golkar dalam bentuk tertulis merupakan akalan-akalan incumbent, Airlangga Hartarto, untuk terpilih secara aklamasi.
"Surat dukungan tertulis itu akal-akalan atau rekayasa incumbent agar terpilih secara aklamasi," kata Ketua Bidang Organisasi dan Daerah DPP Partai Golkar Taufik Hidayat di Jakarta, Kamis (28/11/19). Pernyataan Taufik ini mengomentari keputusan DPP Golkar yang mengharuskan dukungan dari DPD I dan DPD II dalam bentuk surat tertulis.
Mantan Ketua Umum PB HMI ini menjelaskan, melalui instrumen intimidasi, incumbent mampu melakukan mobilisasi surat dukungan tertulis secara besar-besaran.
"DPD I dan DPD II sebagai pemilik suara dibayang-bayangi ancaman pemecatan atau tidak diberikan promosi duduki jabatan publik bila tidak mendukung incumbent," paparnya.
Menurut dia, skenario seperti ini pernah dicoba saat Munas Bali 2014 lalu yang berbuntut perpecahan partai berlambang pohon beringin.
"Akal-akalan itu mau diulang kembali di Munas 2019. Jangan sampai sejarah buruk terulang lagi," tegasnya.
Oleh karena itu, Taufik berharap, agar hal seperti ini dihindari. Pemilihan Ketum, kata dia, hendaknya terbuka agar ada persaingan yang fair antar kandidat, dan menjunjung tinggi sportifitas.
"Berkompetisi secara fair, adil, dan setara, itu prinsip demokrasi," tukasnya.[Fh]