telusur.co.id - Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi mengatakan, dinamika politik yang ada seperti munculnya wacana soal penambahan masa jabatan presiden merupakan hal yang lumrah dalam iklim demokrasi.

Menurut Baidowi, ada istilah sebuah peraturan hukum itu akan selalu dinamis, selalu diperdebatkan sesuai dengan konteks perkembangan zaman.

"Ini kan sama dengan kalau di Islam itu ketika memperdebatkan ada konsep  Islam sholih likulli zaman wa makan, jadi Islam itu baik untuk segala tempat dan waktu. Itu kan perdebatan juga panjang, apakah Islam yang mengikuti zaman dan waktu atau waktu dan zaman menyesuaikan dengan Islam," kata Baidowi dalam diskusi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/19).

Hal itu, kata dia, sama dengan konteks konstitusi, UUD '45 yang sudah diamandemen beberapa kali, menunjukkan bahwa konstitusi itu bukan sebuah barang yang mati, tetapi terus berkembang sesuai dengan perkembangan dinamika sosial yang ada di masyarakat.

"Contoh misalkan dulu, menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dia memilih presiden, meskipun pada praktiknya menetapkan presidennya itu-itu saja, cuma wakilnya aja yang berubah secara bergantian," terangnya.

Memasuki era reformasi, kata dia, ada amandemen terhadap beberapa pasal di UUD '45, sehingga terciptalah seperti sistem yang sekarang ini, yakni pemilihan presiden secara langsung, termasuk juga diatur periodisasinya.

"Kalau sebelumnya periodisasi bisa berpriode 5 tahun sekali dan tanpa batas, sehingga Soeharto sampai memerintah 32 tahun, kemudian ada semangat reformasi yakni ingin membatasi pembatasan kekuasaan, salah satunya apa, membatasi dengan periodisasi. Boleh priodenya lima tahun sekali tetapi maksimal 2 kali menjabat, seperti itu," paparnya.

"Terus sekarang ada yang mau mewacanakan, mengevaluasi, wajar saja, biasa saja. Itu tidak perlu ditanggapi terlalu sinis dan sebagainya, toh itu masih wacana yang terus bergulir, belum menjadi keputusan MPR," tukasnya. [Tp]