telusur.co.id - Pemerintah sangat tidak hati-hati dalam menangkal penyebaran virus Covid-19. Sebab, di tengah masyarakat melawan Covid-19, Kemenkum HAM justru mengaktifkan kembali calling visa, khususnya dengan negara Israel.
Anggota Komisi I DPR Sukamta mengingatkan, jika pemerintah tidak hati-hati, bisa masuk dalam perangkap normalisasi hubungan dengan Israel yang saat ini gencar dipromosikan oleh Amerika Serikat ke berbagai negara Timur Tengah dan negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam.
"Saya berharap pemerintah jangan sampai lengah, pemerintah harus terus berkomitmen dengan garis politik luar negeri yang menolak segala bentuk penjajahan," tegas Sukamta di Jakarta, Sabtu (12/12/20).
Upaya melakukan normalisasi hubungan dengan negara penjajah, lanjut Sukamta, bertentangan dengan amanat pembukaan UUD NRI 1945. Bahkan, Presiden Jokowi secara berulang menyatakan komitmen Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Wakil Ketua Fraksi PKS ini menilai, normalisasi yang telah terjadi antara Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain dan Maroko, tidak hanya bermotif ekonomi, tetapi juga ada agenda politik yang saling bertautan.
Sedangkan AS sangat jelas kepentingannya ialah memperkuat posisinya di Timur Tengah dan Laut Mideterania yang mulai terusik oleh kekuatan Rusia, Turki dan juga Cina melalui Inisatif Sabuk dan Jalan (BRI).
"Sementara UEA, Bahrain dan Maroko punya kepentingan untuk memperkuat posisi secara regional. Situasi ini bisa jadi akan melemahkan upaya menghidupkan peta jalan damai Palestina - Israel dan kemerdekaan Palestina. Hal ini mengingat dalam soal Palestina, Amerika sering menentang keputusan PBB dan lebih memihak kepada Israel," tuturnya.
Sukamta berharap pemerintah meninjau kembali pengaktifan calling visa khususnya untuk negara Israel. Menurut dia, sangat wajar bila beberapa kalangan khawatir ada arah normalisasi dengan Israel.
Apalagi dalam beberapa waktu terakhir terlihat sangat intens komunikasi yang dilakukan antara pejabat Indonesia dengan pejabat AS. Padahal, masa Donald Trump sebagai presiden tinggal menghitung hari.
"Ini kan kesannya seperti kejar tayang. Akan lebih baik jika diplomasi yang intens dilakukan setelah Presiden AS terpilih dilantik. Karena terbuka kemungkinan kebijakan luar negeri AS dibawah Biden akan alami perubahan," tukasnya.[Fhr]