telusur.co.id - Kementerian Agama (Kemenag) memutuskan membekukan operasional pesantren Majma'al Bahrain Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur. Pembekuan tersebut merupakan buntut dari kasus pencabulan yang melibatkan anak kiai yang merupakan pemilik pesantren tersebut.
Sebelumnya, Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto menyarankan kepada Kementerian Agama (Kemenag) untuk mencabut izin Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Ploso.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Mohammad Dawam mengatakan, dalam melihat pembekuan izin opersional pondok pesantren ataupun Lembaga pendidikan keagamaan lainnya secara administratif harus bisa dilihat secara utuh.
Menurut Dawam, dalam kasus Pesantren Ashiddiqiyah ini, usulan penutupan yang disampaikan Kabareskrim yang juga oleh Kemenag RI yang pararel memiliki sikap sama itu, sesungguhnya dalam kerangka melindungi semua elemen masyarakat khususnya pada peserta didik, para santri, wali santri, santri yang pernah menjadi korban dan yang terlibat di dalamnya untuk bersama-sama memperbaiki menejemen ponpes agar lebih baik, akuntabel dan lebih mendapat kepercayaan masyarakat lebih luas lagi.
"Bahwa dalam penanganan kasus ini, sebagai Anggota Kompolnas, saya pastikan penanganan ini murni dalam konteks penegakan hukum. Bukan unsur lainnya, semisal kriminalisasi pesantren, terkait Politik ataupun unsur di luar hukum," kata Dawam kepada wartawan, Jumat (8/7/22).
Untuk itu, kata dia, dalam konteks penegakan hukum pula, juga harus dipisahkan dengan tegas antara penegakan hukum atas sebuah tindak pidana kejahatan seseorang dengan nilai profetik ke-agamaan ataupun jiwa ke-pesantren-an yang murni dalam konteks proses motorik nan spiritual pendalaman paham keagamaan seseorang.
"Apa yang dilakukan aparat penegak hukum adalah dalam konteks penegakan hukum. Saya berharap dalam proses penegakan hukum ini, aparat penegak hukum tetap dalam koridor penegakan hukum yang presisi, memuat nilai keadilan, kepastian hukum dan kebermanfaatan," ungkap Mantan Santri ini.
Ia mengingatkan, kepercayaan publik terhadap pelaksanaan penegakan hukum dalam kasus ini harus terus dijaga. Dan kunci kepercayaan publik itu selama proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum ini harus berjalan dan mengacu pada konsepsi: Bil 'Adli Wal Ihsaan, dengan proses penegakan hukum yang adil dan dengan prosedur, cara dan mekanisme yang berkesesuaian dengan norma, nilai yang berlaku di ranah sosial masyarakat.
"Saya memandang usulan Kabareskrim adalah dalam konteks itu," tandasnya.
Sebelumnya, anak kiai di Jombang, berinisial MSA atau MSAT (42), ditetapkan menjadi tersangka kasus pencabulan terhadap santriwati di pesantren milik orangtuanya. Anak kiai itu dilaporkan ke polisi pada 29 Oktober 2019 oleh korban berinisial NA, salah seorang santri perempuan asal Jawa Tengah.
Pada 12 November 2019, Polres Jombang mengeluarkan surat perintah dimulainya penyidikan. Lalu Januari 2020, Polda Jatim mengambil alih kasus tersebut. MSA berusaha melawan penetapan dirinya sebagai tersangka dengan melakukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Surabaya namun ditolak. Ia kemudian kembali mengajukan gugatan ke PN Jombang dan kembali ditolak. Polda Jatim pun menetapkan MSA sebagai DPO dan memintanya menyerahkan diri. [Tp]