telusur.co.id - Media atau pers harus kembali menjadi pers murni pada cita-cita yang berpihak pada kebenaran, dan perjuangkan keadilan.
Demikian disampaikan wartawan senior Nurlis Effendi dalan bincang santai di youtube Borobudur Hukum Channel, yang dipandu Prof Faisal Santiago.
"Pers lahir dari rahim reformasi demokrasi. Kembali ke cita-cita mulia. Panduannya sudah ada, UU Pers, " ujar Nur.
Dalam bincang tersebut, Nurlis mengaku pers kadang terpengaruh dengan gaya bahasa media sosial. Tidak lain, untuk mengejar SEO pencarian google. Krna itu pengaruh teknogi karena ada SEO. Kebutuhan klik karena pengaruh iklan.
Pengaruh medsos membuat pers terikut gaya pemberitaan medsos seperti gaya bahasa medsos. Di medsos bicara seenaknya tidak ada aturan baku tata Krama, sehingga hukum yang berlaku memakai lhukum pidana. Kadang juga, judul dan isi tidak ada korelasi.
"Pers terikut dengan medsos. Di medsos ada kalimat provokatif bebas. Media cyber terikut sehingga judul terprovokatif.
Pers yang sebenarnya sambungnya, pers Indonesia harus melihat dari UU pers, artinya berbadan hukum Indonesia di luar itu tidak dikata bisa dibilang pers. Dia harus tunduk pada UU pers.
"Artinya menulis bergaya jurnalistik posting di FB dr, juga media belum ada badan hukum bekum dibilang karya jurnalistik, " tambahnya.
Pers tegasnya harus memberikan kecerdasan bangsa. Pada kenyataan yang dikejar klik kadang terjadi pembodohan bagi sebagian pers.
"Ruang etika itu ada di diksi di bahasa. Semua media yang mengaku pers taat UU pers. Pers harus taat kaedah jurnalistik, " pungkasnya. (Fie