Perppu Corona China: Jangan Pilh Calon Parpol Dalam Pilkada 2020 - Telusur

Perppu Corona China: Jangan Pilh Calon Parpol Dalam Pilkada 2020


Penulis: Abdullah Hehamahua*

 

LOGIKA orang kampung menga-takan, DPR pasti menolak Perppu No 1/2020 tentang Covid -19. Se-bab, menurut mereka, DPR adalah lembaga wakil rakyat. Maknanya, lembaga ini memahami  aspirasi rakyat yang diwakili meski orang-orang kampung itu tidak bicara.

Anggota DPR adalah orang ter-cerdas di daerah pemilihannya sehingga mereka terpilih. Logika-nya, mereka pasti tau bahwa, dari presiden sampai petani, konglo-merat sehingga pemulung, punya status yang sama di depan hukum. Begitu kata UUD 45. Tapi, menurut Perppu, Menkeu, Gubernur BI, KSSK, LPS, OJK dan pihak-pihak terkait tidak bisa dipidana, diper-data maupun di-PTUN-kan meski terjadi  penyimpangan, manipulasi, dan penggarongan uang rakyat. Demikian isi pasal 27 Perppu tersebut.
   

Rupanya, Menkeu punya pengalaman traumatik diperiksa KPK karena kasus bank Century yang oleh JK disebut sebagai perampokan. Mungkin Gubernur BI di-wanti-wanti agar jangan alami nasib seperti besan SBY yang dipenjara KPK karena kebijakan yang diambil bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan di atasnya. Barangkali pula pimpinan parpol diingatkan agar tidak jadi calon pasien KPK seperti apa yang terjadi dalam kasus BLBI. Apa hubungannya.? Ya, menurut KPK, pembebasan pihak2 terkait yang merugikan ratusan trilyun rupiah uang Negara dalam kasus BLBI  termasuk tindak pidana korupsi. Oleh karena itu mereka harus di-proses secara hukum.

Naasnya, orang KPK keceplos ngomong ke publik sebelum kasus diproses. Lagipula, KPK kalah selangkah dari “mereka” dalam bertindak. Mung-kin ini yang dimaksud, “to kill or to be killed,”  oleh Rambo, jagoan Amerika di layar lebar. Dampak-nya, komisioner KPK, Abraham Sa-mad dikriminalisasi.

Dari perspektif ini, dapat diketahui bahwa, meski kewenangan budgeting dan controlling DPR dipasung, 8 fraksi di DPR tetap menerima Perppu tersebut. Sebegitu rendahnya integritas anggota DPR kita.? Mungkin perlu pisau analisis lain sebelum kita jatuhkan hukuman terhadap mereka. 

Mari kita lihat data-data KPK dan Bawaslu mengenai perilaku orang parpol, baik yang di lem-baga ekesekutif maupun legis-lative. Laporan tahunan KPK 2018 menyebutkan biaya yang harus dikeluarkan, baik untuk menjadi anggota legislative maupun ke-pala daerah, cukup mencengang-kan. Calon, untuk terpilih menjadi bupati atau walikota, perlu biaya di antara 20 sampai dengan 30 miliar rupiah. Gubernur, perku 20 – 90 miliar. Namun, di Jawa, biaya kampanye bupati dapat mencapai 100 milyar. Bagaimana dengan mahar.? Rupanya di negeri ini, tidak saja seorang lelaki ha-rus membayar mahar ke calon isteri, tetapi calon kepala daerah juga harus bayar mahar ke partai pengusung.

Hasil survei KPK terhadap 198 calon kepala/wakil kepala daerah yang kalah, ditemukan angka-angka yang cukup mengagetkan. Calon harus membayar 50 – 500 juta rupiah per kursi di DPRD terkait. Jadi, kalau suatu kabupa-ten punya 50 anggota DPRD, maka calon bupati harus membayar di antara 50 x 50 juta rupiah sampai dengan 50 x 500 juta rupiah.

Bagaimana kalau calon hanya mengandalkan kegantengan, ke-cantikan atau pencitraan oleh media mainstream.? Jangan khawatir.  Ada donatur atau sponsor. Laporan KPK menyebutkan,38,1% responden mengatakan, donaturnya berasal dari pengusaha ke-luarga.  Sedangkan 40,9% respon-den mengatakan, donaturnya adalah pengusaha nonkeluarga. Kok semangat banget pengusaha? Tunggu dulu. Ini permintaannya: 95,4% responden menga-takan, donatur minta kemudahan memeroleh ijin  usaha. Tapi, 90 persen responden mengatakan, donatur ingin mendapatkan keamanan dalam menjalankan bisnis.

Bagaimana data Bawaslu? Lembaga pengawas pemilu ini menginformasikan, pilkada 2018 yang diikuti 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten, money politic luar biasa. Pada tahap kampanye, terjadi money politic di 21 kabu-paten dari 10 provinsi.  Ketika ma-sa tenang, 311 kasus money politic di 25 kabupaten/kota dari 16 provinsi.  Pada saat pencoblosan, ada 90 kasus money politic di 22 kabupaten dari 12 provinsi. 

Jangan lupa, kepala daerah dan anggota legislative sama-sama orang parpol, bahkan mungkin satu parpol. Wajar kalau pihak ekesekutif dan legislative saling berkonspirasi menggolkan satu RUU untuk kepentingan bisnis donatur atau sponsor mereka. Sampai di sini, kita yang pernah belajar ilmu hukum, mengerti  mengapa 8 fraksi di DPR me-ngesahkan Perppu No 1/2020 tentang Covid -19. Kita juga kemudian paham, mengapa, presiden, gubernur, bupati dan walikota harus menjabat dua periode berturut-turut. Sebab, kalau 1 periode saja, penghasilan yang mereka peroleh hanya cukup untuk bayar utang atau balik modal kampanye. Itu pun kalau tidak sempat ditangkap KPK.  Kalau terpilih dua periode, mungkin dapat untung atau bonus, baik dari gaji, uang presentasi, dana  operasional  atau hadiah dari kolega donatur. Konon, presiden mau maju tiga periode. Apa mungkin ? Mengapa tidak mung-kin. Bukankah Perppu virus corona China tersebut menurut orang waras, tidak mungkin di-sahkan DPR? Namun, faktanya, disahkan. Oleh karena itu ada kawan yang berkelakar, semua teori hukum, politik, dan ekonomi di dunia, tidak berlaku di Indonesia. Waduh, keterlaluan candaan ini.

Apakah rakyat, khususnya me-reka yang masih cinta NKRI, paham UUD 45, peduli masyarakat miskin, dan masih waras, membiarkan Perppu tersebut menjadi UU sebagai payung bagi proses perampokan ratusan trilyun uang negara? Tidak, sekali lagi tidak. Harus ada sanksi konkrit dan tegas terhadap 8 fraksi ini. Sanksi terdekat, jangan pilih Gubernur, bupati dan walikota yang diusung 8 frsksi ini.

Pilihlah calon kepala daerah yang bukan diusung parpol, yakni calon independen. Targetnya, partai politik di Indonesia harus ditinjau kembali eksistensinya dan kembali ke sistem perwakilan rakyat sebagai-mana diinginkan Pancasila dan UUD 45 yang asli. Semoga !!![***]

 

*) Mantan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi 


Tinggalkan Komentar