telusur.co.id - Peristiwa kekerasan kepada tenaga perawat yang baru-baru ini terjadi di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya, membuka mata akan pentingnya penguatan perlindungan hukum bagi tenaga medis.
Padahal, selain bertugas merawat yang sakit, di tengah masa pandemi ini, para tenaga medis juga kerap menghadapi amukan pasien maupun keluarganya.
Perawat senior, Laurentina Nora Eda, mengaku memang tidak mudah menjadi perawat. Selain harus berlatar pendidikan keperawatan, perawat juga harus memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik.
"Dalam pekerjaannya, perawat tidak hanya berhadapan dengan pasien namun juga dengan keluarga pasien," kata Lauren dalam sebuah diskusi Rumah Kebudayaan Nusantara, Sabtu (24/4/21).
Sementara aktivis buruh yang juga Ketua DPP KSPSI DKI Jakarta William Yani Wea mengatakan, masih ada ketimpangan jam kerja dokter dan perawat di rumah sakit. Banyak perawat dituntut bekerja hampir 12 jam sehari.
Padahal, jam kerja normal adalah 8 - 9 jam per hari. Jam kerja yang sedemikian panjang tentu mempengaruhi kondisi psikis perawat.
Kemudian, atandar layanan rumah sakit sangat jelas mencantumkan bahwa harus ada perlindungan hukum untuk tenaga kesehatan dan tenaga medis serta perlindungan terhadap kekerasan yang terjadi dalam kondisi apapun.
Demikian pula sesuai dengan Pasal 36 Undang-undang Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, mencantumkan Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peratudan Perundang-undangan.
Ahli hukum kesehatan, Sukendar SKM., M.H.Kes, menilai, perawat memang kerap mendapat perlakuan kekerasan dan intimidasi, namun tidak terekspos.
"Banyak perawat yang mendapat perlakuan intimidasi enggan melapor karena khawatir nama baiknya rusak," tuturnya.
Sementara Budayawan Romo Benny Susetyo menganalogikan profesi perawat dengan guru. Serupa dengan guru, perawat layak disebut pahlawan tanpa tanda jasa.
Karena tugas utama perawat, menurut Romo Benny, adalah menjaga kehidupan. Kultur di Indonesia belum sepenuhnya menghargai profesi perawat. Bahkan kadang perawat diperlakukan layaknya pembantu rumah tangga oleh pasien atau keluarga pasien.
Hubungan antara pasien dan perawat menjadi hal sensitif dalam pelayanan kesehatan. Di satu pihak, pasien berhak mendapatkan pelayanan yang profesional, di sisi lain perawat, yang berinteraksi langsung dengan pasien dihadapkan pada situasi yang rentan tindak kekerasan baik verbal maupun fisik.
"Seperti yang terjadi di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya," tukasnya.[Fhr]