telusur.co.id - Presiden Jokowi akan meminta DPR untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jika penerapannya memang tidak memberikan keadilan bagi masyarakat.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga mengatakan, rasa ketidakadilan itu memang sudah lama dirasakan masyarakat. Sudah banyak korban dari UU ITE, terutama yang kritis terhadap pemerintah masuk penjara. Sementara yang mendukung pemerintah, meskipun diadukan, tetap aman-aman saja.
"Itu artinya, ada pasal dalam UU ITE yang multi tafsir, sehingga dapat diberlakukan berbeda untuk kasus yang sama. Pasal-pasal ini disebut pasal karet, khususnya Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2," kata Jamiluddin dalam keterangan yang diterima wartawan, Rabu (17/2/21).
Menurut Jamiluddin, pasal yang terkait pencemaran nama baik itu disadari atau tidak sudah dijadikan alat politik. Pihak-pihak yang kritis akan dengan mudah dijerat dengan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
"Hal itu awalnya tidak diakui oleh partai pendukung pemerintah. Namun setelah Presiden Jokowi menyatakan akan meminta DPR merevisi UU ITE, maka partai pendukung ibarat paduan suara mengaminkan adanya pasal karet tersebut," ujarnya.
Jamiluddin menilai, perubahan sikap tersebut menunjukkan masih berseminya sikap Asal Bapak Senang (ABS) di internal partai pendukung pemerintah.
"Apa pun yang dikatakan presiden akan dengan seketika diaminkan," katanya.
Sikap feodal itu, kata dia, membuat bangsa ini sulit untuk maju. Para elit partai yang seharusnya mendorong perubahan di negeri ini, ternyata hanya pengekor yang cenderung hanya untuk mempertahankan status quo.
"Hal itu kiranya jadi masukan bagi Presiden Jokowi mengenai mentalitas orang-orang sekitarnya. Presiden perlu mencari orang-orang yang berani berpendapat berbeda untuk mengingatkannya tentang jalannya pemerintahan yang sebenarnya," pungkasnya. [Tp]