telusur.co.id - Peneliti Litbang KOMPAS Yohan Wahyu menambahkan, berdasarkan survei yang dilakukan Litbang Kompas ditemukan adanya gerakan politik yang dilakukan para elit untuk menguatkan penundaan pemilu dengan alasan kepentingan nasional.
Padahal alasan ekonomi yang dijadikan alasan untuk pemulihan ekonomi nasional hanya sekitar 6,9 persen. Publik yang tidak percaya, justru jauh lebih besar mencapai 23, 4 persen. "Publik melihat itu hanya untuk kepentingan politik mereka saja," kata Yohan di Gelora Talk bertajuk "Heboh Gonjang-ganjing Tunda Pemilu 2024, Apa kata Survei?", Rabu (23/3/2022) petang.
Selain itu, sekitar 80 persen suara publik juga menyatakan, bahwa penundaan pemilu tidak berkorelasi dengan pemulihan ekonomi nasional.
"Survei yang kita lakukan semakin memperkuat hasil survei dari lembaga survei lain soal penundaan pemilu, bahwa mayoritas publik menolak penundaan pemilu," katanya.
Yohan menegaskan, upaya orkestrasi yang dibangun untuk mempengaruhi opini publik tidak membuahkan hasil seperti upaya pembahasan penundaan pemilu yang rencananya digelar Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) di Balikpapan, Kalimantan Timur pada Senin 21 Maret 2022 lalu, akhirnya dibatalkan setelah mendapatkan protes dari Ketua KPU RI Ilham Saputra.
"Saya melihat ada orkestrasi yang dibangun yang coba mempengaruhi opini publik untuk melakukan penundaan pemilu. Setelah survei ini, ternyata masih berlanjut dengan beredarnya surat Kemenko Polhukam yang kemudian diklarifikasi. Saya kira nanti akan muncul banyak lagi di lapangan, tetapi mayoritas publik tetap menolak," tegas Peneliti Litbang KOMPAS ini.
Founder Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia Ismail Fahmi mengungkapkan, perbincangan tentang penundaan pemilu dan jabatan presiden tiga periode, sangat tinggi pada akhir Februari hingga awal Maret 2022. Puncak pembahasan terjadi pada 2 Maret, dengan lebih dari 6 ribu mention.
"Terutama didorong pernyataan Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan, yang mengklaim 110 juta netizen mendukung penundaan pemilu," kata Ismail.
"Secara umum, publik percaya bahwa rezim ada di belakang ramainya wacana penundaan pemilu dan masa jabatan presiden tiga periode," imbuhnya.
Menurutnya, banyak perbincangan didorong tingginya penolakan warganet atas wacana tersebut. Kemudian, pemberitaan sangat tinggi pada 7 Maret dengan 1.918 mentions.
"Hal itu didorong komentar Presiden Joko Widodo, bahwa dia patuh pada konstitusi. Publik mengkritisi respon presiden, yang dinilai berbeda pada wacana tiga periode," ujarnya.
Sebab pada 2019, Jokowi sebut wacana tiga periode menampar mukanya, Namun belakangan Presiden sebut wacana itu sebagai bagian dari demokrasi. Netizen terlihat kompak menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden.
"Selain mengamplifikasi pemberitaan dan pernyataan para tokoh yang menolak penundaan pemilu hingga 2027, netizen juga mengkritisi berbagai dukungan atas wacana perpanjangan masa jabatan Presiden," tandasnya. [ham]