telusur.co.id - Wacana pembentukan koalisi permanen yang disuarakan Presiden Prabowo dan kader-kader Partai Gerindra kecil kemungkinan akan terwujud. Bahkan bisa dibilang tidak mungkin terjadi.
"Meskipun semua ketum partai yang ada di KIM plus menyatakan setuju, tapi keputusan tersebut akan berubah setelah hasil pemilu diketahui," kata Peneliti Center for Indonesia Reform (CIR) Subhan Akbar, Rabu (20/2/25).
Menurut Subhan, politik Indonesia sangat dinamis dan mudah terpengaruh oleh banyak faktor. Dengan demikian, deal-deal elit politik saat ini akan mudah berubah menjelang dan pasca-pemilu 2029.
Terlebih, persetujuan ketum parpol KIM Plus pada wacana koalisi permanen belum final. Persetujuan itu bisa saja sebatas fatsun politik karena berada di koalisi yg dipimpin Prabowo.
Pada bagian lain, persetujuan tersebut bisa dianggap sebagai upaya mengamankan posisi agar porsi kekuasaan di koalisi tidak dievaluasi.
Tapi, secara logis semua kebijakan partai akan disesuaikan dengan dinamika dan kondisi politik jelang pemilu 2029. Sehingga persetujuan mendukung koalisi permanen saat ini sekedar basa-basi untuk menjaga perasaan Prabowo yang sedang euforia.
Subhan menilai, tidak ada korelasi empirik bahwa koalisi permanen dapat menunjang proses pembangunan. Dalam konteks sistem demokrasi koalisi permanen dari sebagian besar partai itu langkah mundur karena menihilkan kekuatan penyeimbang kekuasaan.
"Kalau semua kekuatan politik sudah bersatu dengan pemerintah dan parlemen maka aspirasi rakyat menjadi tidak penting untuk diperhatikan dalam proses pembuatan kebijakan negara. Dan ini sangat berbahaya," tukasnya.[Fhr]