telusur.co.id - Keputusan Presiden Joko Widodo melarang ekspor minyak goreng dan CPO mulai 28 April 2022 jangan hanya angin-anginan.
Artinya, jangan dibuat sekedar untuk meredakan kegaduhan masyarakat akibat tertangkapnya Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan beserta sejumlah pimpinan perusahaan migor raksasa.
"Semoga kebijakan itu tidak bernasib sama seperti larangan ekspor batu bara yang hanya berumur sepekan. Dan ironisnya kebijakan larangan ekspor batu bara yang ditetapkan presiden dibatalkan oleh menko maritim dan investasi," kata Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, kepada wartawan, Sabtu (23/4/22)
Mulyanto pun minta Pemerintah segera merumuskan dan menetapkan kebijakan lanjutan terkait tata niaga minyak goreng (migor) ini. "Jangan berlam-lama membiarkannya mengambang seperti itu," ingatnya.
Menurutnya, kebijakan yang perlu diambil Pemerintah selanjutnya adalah kebijakan untuk memprioritaskan migor dan bahan baku migor (CPO) bagi kebutuhan pasar dalam negeri.
Tak seperti kebijakan sekarang, dimana CPO dan migor hampir di atas 70 persen didedikasikan untuk pasar ekspor mengejar devisa.
"Kebijakan yang memprioritaskan ekspor tersebut memunculkan kondisi yang mengherankan. Di satu sisi Indonesia sebagai negara produsen terbesar migor dunia, namun di sisi lain rakyatnya justru antri migor, karena langka. Ini kan kondisi yang memalukan," ungkapnya.
Jadi ke depan, menurut Mulyanto, Pemerintah harus tegas menetapkan CPO dan migor sebagai komoditas prioritas dalam negeri dan konsisten melaksanakannya. "Pemerintah tidak boleh kalah dan lemah didikte korporasi," ujar politisi PKS tersebut.
Selain itu, Pemerintah perlu menetapkan kebijakan pembatasan ekspor CPO dan turunannya. Ekspor komoditas berbasis minyak sawit yang diperbolehkan hanyalah produk hasil hilirisasi yang bernilai tambah tinggi.
"Sudah saatnya Pemerintah mengambil kebijakan pelarangan ekspor minyak sawit mentah ini ke luar negeri," tukasnya.[Fhr]