Strategi Moeldoko Kalah Canggih Dengan SBY - Telusur

Strategi Moeldoko Kalah Canggih Dengan SBY

Pengamat Politik Ubedilah Badrun (FOTO :IST)

telusur.co.id - Pengamat politik Ubedilah Badrun menilai, dalam catatannya, sepanjang rezim Jokowi ini dari tahun 2014 hingga saat ini, terlalu banyak peristiwa empirik yang menunjukan tanda-tanda pembelahan partai politik dalam rangka kendali politik. 

"Kalau tidak terbelah maka partai politik dapat dikendalikan dengan mendukung kekuasaan saat itu," ujar Ubedilah pada Telusur.id, Rabu (3/2/2021).

Apa faktanya? Partai Golkar saat memilih jalan oposisi dibawah pimpinan Aburizal Bakri sempat terbelah hampir dua tahun, dalam dualisme kepemimpinan antara Abu Rizal Bakri dan Agung Laksono. 

"Sejumlah Kongres Luar Biasa di gelar. Fenomena ini terjadi saat pemerintah belum menguasai parlemen sampai kemudian partai Golkar dibawah kendali pemerintah mendukung pemerintah ketika Golkar berhasil dibawah kekuasaan Setya Novanto yang mendukung pemerintah," jelasnya 

Tragisnya Setya Novanto kemudian berujung dipenjara karena kasus korupsi. Fakta berikutnya misalnya fenomena Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang sempat terbelah antara kubu yang mendukung pemerintah dan yang tidak mendukung dengan mengadakan Munas versi masing-masung hingga akhirnya mampu dikendalikan dengan terpilihnya Romahurmuzy yang sangat dekat dengan penguasa. 

"Meski akhirnya Romy juga tragis berujung dipenjara karena kasus Korupsi," paparnya.

Ada juga fonomena yang agak halus pembelahan Partai Keadilan Sehahtera (PKS) dengan munculnya Garbi yang kemudian menjadi embrio lahirnya partai Gelora jelang pemilu 2019. Meski gagal mengurangi suara PKS. Karena PKS bertambah suaranya pada pemilu 2019 hingga bertambah 3 juta lebih suara.

Sejumlah peristiwa diatas membuka peluang analisis yang menyimpulkan bahwa ada semacam indikasi kuat adanya operasi khusus intervensi kepada partai politik agar dibawah kendali kekuasaan, baik melalui pembelahan atau 'perebutan posisi' ketua partai politik. 

"Entah siapa yang melakukan operasi tetapi fakta fakta diatas cukup menguatkan analisis tersebut," terangnya.

Jadi, apa yang terjadi pada Partai Demokrat (PD) sangat mungkin ditafsirkan secara politik kedalam analisis tersebut meski orientasinya bukan semata-mata kendali kekuasaan, tetapi ada tafsir yang mengarah pada upaya menyiapkan untuk kontestasi politik pada 2024 mendatang.

"Jika ada tafsir bahwa itu upaya istana dalam hal ini Moeldoko untuk masuk ke Partai Demokrat, dan menjadi kendali utama saya kira analisis tersebut mungkin ada benarnya," ungkapnya.

Sebab SBY sambungnya, melalui AHY tentu tidak mungkin sembarangan bicara soal upaya kudeta, SBY pasti memiliki data dan memiliki strategi antisipasi tentang itu semua. Pertemuan - pertemuan Moeldoko dengan sejumlah pengurus PD tidak mungkin dilakukan jika tidak ada kepentingan tertentu. Sebab pertemuan tersebut sangat politis bukan pertemuan Moeldoko dengan tukang becak tetapi dengan politisi partai.

"Jadi, jika AHY benar karena berbasis data, maka apa yang dilakukan Moeldoko itu mirip "kudeta kesiangan". Hasrat kuat untuk ambisi 2024 tetapi apa daya strateginya kalah canggih dibanding SBY," pungkasnya.(fir)


Tinggalkan Komentar