telusur.co.id - Keputusan Pemerintah mengambilalih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII) dari tangan Yayasan Harapan Kita, meskipun sangat terlambat dilakukan, tetapi ini merupakan langkah tepat dan strategis yang patut diapresiasi, karena berhasil menyelamatkan aset negara yang dikuasai oleh kroni-kroni Orde Baru (Putra-Putri Soeharto) secara melawan hukum dan merupakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Demikian disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus, dalam keterangannya, Jumat (9/4/2021).
Menurut Petrus, meskipun pemerintah dengan mudah mengambilalih pengelolaan Yayasan Harapan Kita tanpa menggunakan upaya hukum, namun demikian baik Yayasan Harapan Kita selaku korporasi maupun Para Pengurusnya yaitu Tutut Hardiyanti R dkk, harus dimintai pertanggungjawaban secara Tindak Pidana Korupsi, karena telah menguasai, mengelola dan menikmati aset-aset negara secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara dengan angka sangat fantastik.
"Berdasarkan TAP MPR No. XI/MPR/1998, Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme," terangbya.
Disitu dikatakan bahwa Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap mempertahankan prinsip Praduga Tak Bersalah dan Hak Asasi Manusia.
Namun Tap MPR XI/MPR/1998 ini sejak awal reformasi atau sudah 4 kali ganti Presiden mulai dari BJ. Habibie hingga Presiden Jokowi, baru di era Pemerintahan Jokowi, Tap MPR No. XI/ MPR/1998 ini dilaksanakan dan sudah mulai menunjukan hasilnya, terakhir dengan pengambilalihan pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita yang diketuai oleh Siti Hardijanti Rukmana dan adik-adiknya beberapa waktu yang lalu.
Sejak dikeluarkannya Tap MPR RI Nomor : XI/MPR/1998 sampai dengan sekarang 23 (dua puluh tiga) tahun, Pemerintah belum serius melakukan upaya pemberantasan korupsi terhadap mantan Presiden Soeharto, Keluarga dan Kroninya, kecuali di era pemerintahan Presiden Jokowi, telah dilalukan upaya hukum gugatan PMH secara perdata terhadap H.M Soeharto, Putra/Putrinya (Siti Hardijanti Rukmana dkk) dan Yayasan Beasiswa Supersemar untuk mengembalikan kerugian yang dialami oleh negara.
"Sangat tidak adil bila Pemerintahan hanya mengambilalih Pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita, berhenti pada upaya perdata, tetapi mengabaikan penyelesaian melalui pendekatan hukum Pidana Korupsi terhadap Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmojo, Siti Hedianti Soeharto, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih, yaitu dimintai pertanggungjawaban secara pidana sesuai dengan Tap MPR Nomor : XI/MPR/1998 dan UU Tipikor," tegasnya.
Kerugian negara akibat PMH yang dilakukan oleh Yayasan Beasiswa Supersemar, H.M Soeharto dan Putra/Putrinya sesuai putusan PK Mahkamah Agung RI No. 140/PK/Pdt/2015 dimaksud adalah sebesar US $ 315.002.183,- ( tiga ratus lima belas juta dua ribu seratus delapan puluh tiga dolar Amerika Serikat) dan Rp. 139.438.536.678,56 (seratus tiga puluh sembilan miliar empat ratus tiga puluh delapan juta lima rstus tiga puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh delapan rupiah enam puluh delapan sen), wajib dibayar kepada negara.
"Dengan demikian sikap Pemerintahan era Presiden Jokowi berupa menuntut pertanggungjawaban hukum baik secara perdata maupun secara pidana," pungkasnya.(fir)