telusur.co.id - Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, radikalisme bukanlah masalah utama bagi Indonesia dewasa ini.
Menurutnya, radikalisme hanyalah dampak dari ketimpangan sosial yang dipicu oleh stagnasi perekonomian global.
Dia juga mengingatkan, bahwa pokok persoalan terjadinya gejolak yang terjadi belakangan ini adalah persoalan ketimpangan sosial akibat stagnasi perekonomian global yang serius.
"Pada intinya, kita mengalami ketimpangan sosial ekonomi yang sangat serius. Permasalahan di Indonesia bukan radikalisme," ujar Siti Zuhro di kawasan Menteng Jakarta Pusat, Minggu (29/12/19).
Dia juga memperingatkan, kalau tidak ada perubahan yang fundamental, dimana pemerintah melakukan terobosan-terobosan yang luar biasa, stagnasi akan terus terjadi.
"Ke depan akan suram (gloomy), kita harus mengatakan itu terutama kalau berkaitan dengan politik," terang dia.
Dia menilai, ada ketidakadilan ekonomi yang dirasakan oleh penduduk Indonesia, dimana angka kemiskinan dan pengangguran masih signifikan.
"Tidak jauh dari Ibu Kota Negara ini (Jakarta), yaitu di Provinsi Banten. Penganggurannya paling tinggi. Pastinya kemiskinan demikian juga," ungkap dia.
Karenanya, kata dia, ke depan yang harus dipikirkan pemerintah adalah bagaimana mengentaskan kemiskinan itu supaya disharmoni di tengah masyarakat juga terobati.
Sebaliknya, menurut dia, konsep politisasi radikalisme dan politik identitas harus dihilangkan agar arah permasalahan yang sebenarnya tidak menjadi kabur.
"(Masyarakat) kita tidak mau dibawa ke alam politisasi radikalisme dan politik identitas. Sebab pemilu sudah usai dan pak Joko Widodo (Jokowi) sudah mengatakan itu," terang dia.
Presiden pernah berujar jika fokus pembangunan ke depan adalah bagaimana meningkatkan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan investasi.
Menurutnya, pemerintah sedang membangun kebijakan ke arah domestik agar wajah Indonesia cantik terlihat ke luar negeri.
"Berarti kita melihat dulu ke (sektor) domestik. Supaya wajah kita cantik ke luar negeri, politik luar negeri, karena semua keputusan kebijakan itu kan sebetulnya keputusan politik," jelasnya.
"Oleh karena itu sebetulnya politisasi radikalisme dan politik identitas menimbulkan pertanyaan mendasar apakah itu relevan dengan keputusan politik yang dicanangkan pemerintah," pungkasnya. [Tp]