telusur.co.id -Budiman Tiang melalui kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Agus Widjajanto and Partners berencana mengajukan dilaksanakannya Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) ke Komisi III DPR RI. Permohonan RDP itu dilayangkan sejalan dengan dugaan adanya persekongkolan jahat yang menjerat Budiman Tiang di Polda Bali.
"Kami akan ajukan dilaksanakannya RDPU ke Komisi III DPR RI, untuk dipanggil Kapolda Bali dan jajarannya, kenapa proses penyelidikan penetapan tersangka Budiman Tiang berlangsung begitu cepat," tegas Hendrikus Hali Atagoran dari Kantor Hukum Agus Widjajanto and Partner dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (2/6/2025).
Konferensi pers mengenai 'Penjelasan Resmi Konflik Hukum The One Umalas dab Kepastian Bagi Penyewa dan Investor' dihadiri tiga pihak. Pertama dari pihak Budiman Tiang, kedua PT Tirta Digital Indonesia diwakili Taufik Nasution and Partnes dan Yayasan Indonesia Eurasia Internasional.
Disampaikan Hendrikus, Budiman Tiang ditetapkan sebagai tersangka penggelapan dan penipuan oleh Polda Bali. Dimana ia diduga telah menggelapkan uang sebesar Rp15 juta dari salah satu penyewa The One Umalas. Sementara pihak yang diduga ditipu tidak pernah diperiksa.
"Bagaimana bisa mengatakan bahwa ini penggelapan dan penipuan, jika pihak yang mentransfer ke klien kami itu belumd diperiksa. Artinya apa, penetapan tersangka ini sangat prematur," tegasnya.
Agus Widjajanto mengungkapkan, jauh sebelum Budiman Tiang ditetapkan sebagai tersangka, kliennya melaporkan dugaan penggelapan uang sebesar Rp28 miliar oleh dua warga negara Rusia yakni Igor Maksimov dan Stanislav Sadovnikov. Uang itu milik para investor dan customer yang membeli hunian namun hingga kini tidak pernah mendapatkan haknya.
"Laporan (ke Polda Bali) itu selama dua tahun tidak naik-naik ke penyidikan. Namun Budiman Tiang oleh salah seorang yang mengaku orang dekatnya Jokowi menyarankan agar mencabut laporan supaya kedua orang ini bisa dideportasi," jelasnya.
"Hari ini mencabut laporan, besoknya klien kami (Budiman Tiang) langsung naik penyidikan dan ditetapkan sebagai tersangka, sementara laporan klien kami dua tahun mandek," tambah Agus Widjajanto.
Ia mendapatkan informasi jika Budiman Tiang sengaja dikorbankan karena permasalahan The One Umalas mendapatkan atensi dari salah satu petinggi di Jakarta. Agus Widjajanto menyayangkan kejadian tersebut, karena menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum dan investor asing.
*
Kronologi Hukum The One Umalas
Kantor Hukum Agus Widjajanto & Partners membeberkan kronologi masalah hukum yang kini menjadi perhatian publik. Diawali dari adanya perjanjian kerjasama antara Budiman Tiang sebagai pemilik sertifikat HGB Nomor 619, 620, 621, 622/Krobokan, Badung Bali, dengan PT Samahita Umalas Prasada (PT SUP).
Kerjasama untuk mengerjakan pembangunan The One Umalas. Akan tetapi dalam kenyataannya pembangunan tidak mampu diselesaikan oleh PT SUP. Bahkan dengan alasan untuk melanjutkan pembangunan dan kehabisan modal. PT SUP selanjutnya meminjam uang sebesar Rp 24 Milyard kepada Budiman Tiang.
"Setelah uang pinjaman diberikan oleh Budiman Tiang, dana tersebut tidak digunakan untuk melanjutkan pembangunan The One Umalas, justru untuk keperluan lain," terang Hendrikus seraya menambahkan kliennya kemudian mengambilalih untuk melanjutkan pembangunan.
Disebutkan juga bahwa dalam perjanjian kerjasama dengan PT SUP, dalam Pasal 7 pemilik tanah hanya dapat pengembalian sebesar Rp 425 juta, sebagai kompensasi awal. Dan, secara formal mendapat 46 persen saham dalam kerjasama tersebut juga tidak pernah mendapatkan deviden.
"Padahal klien kami sebagai pemilik tanah tentu berharap dapat keuntungan dari aset tanah SHGB Nomor 619, 620, 621 dan 622 tersebut. Ini yang dianggap terjadi wanpestrasi dan ketidakadilan," urainya.
Bahwa selain itu, dikarenakan ada penemuan transaksi crypto yang tidak disetor ke perusahaan, maka disepakati dalam perjannjian pihak PT Magnum Estate International harus memberikan pembelian saham di PT ICG yang membawahi beberapa pekerjaan.
Diantaranya Magnum Sanur, Magnum Berawa, Magnum Alam dan beberapa project lainnya. Besarannya adalah 34 persen atau kurang lebih Rp 500 milyar yang dicicil secara bertahap. Namun setelah enam bulan berjalan, PT SUP yang bekerjasama dengan PT Magnum Estate International sebagai pihak operation penjualan, telah memberikan properti sebagai jaminan dan pembayaran ke Budiman Tiang sebesar kurang lebih Rp 145 miliar.
Setelah itu, lanjut Hendrikus, tidak lagi mau menyetor sesuai kesepakatan pembelian saham 34 persen sebesar kurang lebih Rp 500. PT SUP dan Magnum Estate justru menganggap perjanjian hitungan saham One Umalas terlampau mahal dan ketinggian hingga dianggap dengan jaminan senilai Rp 145 miliar tersebut dianggap sudah lunas.
Padahal kesepakatan penjualan Rp 500 miliar ditandatangai bersama dan sudah diregister di notaris. Namun PT SUP bersama PT MEI justru mengingkarinya sendiri. Disitulah kemudian memicu konflik hukum.
"Sejak penjualan saham 2,5 tahun lalu, semua project tidak selesai padahal ratusan investor sudah resah karena waktu serah terima sudah jatuh tempo. Sedangkan untuk kondisi proyek, hampir semua mangkrak dan tidak berizin lengkap," kata Hendrikus.
"Atas dasar hal tersebut pihak Budiman Tiang mengganggap PT SUP dan Magnum Estate International telah melakukan wanprestasi (ingkar janji) dan digugat di Pengadilan Negeri Denpasar," sambungnya.
Kerjasama operasional PT SUP pengelolaan The One Umalas dengan PT Magnum Estete International disampaikan melalui akte Nomor 34 tahun 2021 tertanggal 28 Desember 2021. Dari kerjasama ini pula mulai timbul masalah demi masalah. Dimana mulai menciptakan skenario untuk menyingkirkan Budiman Tiang.
Caranya dilakukan dengan memaksa secara kasat diluar cara-cara hukum untuk bisa mengambilalih management One Umalas yang telah dari awal dikelola oleh Budiman Tiang. Pihak PT MEI sendiri disampaikan dia menggunakan Kantor Hukum Yusril Ihza Mahendra untuk membantu secara legal.[iis]