telusur.co.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melantik enam menteri baru pada hari Rabu, 23 Desember 2020. Keenam orang menteri tersebut yakni Tri Rismaharani (PDIP), Sandiaga Uno (Partai Gerindra), Yaqut Cholil Qoumas (PKB), Sakti Wahyu Trenggono (Mantan Politisi PAN), M Luthfi (Repsesentasi PKB), Budi Gunadi Sadikin (Profesional).

Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute (TII) Arfianto Purbolaksono menilai, komposisi keenam nama tersebut mengindikasikan bahwa reshuffle ditujukan untuk mempersolid dukungan partai koalisi pemerintahan.

Menurut Arfianto, solidnya dukungan partai memang menjadi poin penting bagi Presiden Jokowi untuk mengarungi pemerintahannya di periode keduanya ini.

“Dukungan di dalam pemerintahan dan parlemen diharapkan dapat menjaga stabilitas politik yang lebih baik,” kata Arfianto kepada telusur.co.id, Jakarta, Senin (28/12/2020).

Namun demikian, lanjut Arfianto, harus diingat oleh Presiden Jokowi bahwa hal ini juga akan menjadi ujian bagi kepemimpinannya. Karena semakin besar dukungan partai politik, hal ini juga akan membawa konsekuensi tarik menarik kepentingan yang lebih besar antar partai politik tersebut baik di dalam pemerintahan maupun di parlemen. Apalagi jika menghitung waktu menuju Pemilu 2024.

Ia mengatakan, berdasarkan hasil riset TII pada tahun 2019 bahwa orientasi partai politik di Indonesia cenderung pada dua orientasi, yakni The Votes-Seeking Party dan The Office-Seeking Party.

The Votes-Seeking Party yaitu orientasi partai yang lebih mengutamakan perolehan suara demi memenangkan pemilu atau setidaknya lolos dalam parliamentary threshold.

“Hampir semua partai masuk dalam klasifikasi orientasi ini, kecuali partai pemenang Pemilu 2014 dan 2019 yang lalu, yaitu PDI-P,” jelasnya.

Sementara, PDI-P sebagai petahana masuk dalam kategori The Office-Seeking Party. Artinya, kata dia, PDI-P sebagai partai pemenang Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, berorientasi untuk memaksimalkan dan mengamankan kekuasaannya.

“Upaya ini dilakukan untuk mengamankan posisi atau jabatan yang mereka kuasai walaupun upaya ini dilakukan dengan berbagi kekuasaan dengan partai lainnya dalam koalisi,” ujar Arfianto.

Ia menuturkan, dengan melihat orietasinya, maka dukungan partai dapat dikatakan akan selalu beriringan dengan kepentingannya untuk menuju kontestasi Pemilu 2024.

Hal inilah yang kemudian akan menjadi tantangan bagi Presiden Jokowi di tengah lalu lalang kepentingan politik ketika menahkodai pemerintahan di tengah kondisi pandemi.

“Apalagi mengingat Presiden Jokowi bukan seorang ketua umum atau dewan pembina dari sebuah partai politik,” katanya.

Oleh karena itu, tambah dia, sudah semestinya Presiden Jokowi dapat mengelola kepentingan politik didalam kabinetnya agar dapat tetap fokus menjalankan tujuan pemerintahannya.[Tp]