telusur.co.id - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh akhirnya menetapkan enam orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi SPPD perjalanan dinas anggota DPRK Simeulue tahun anggaran 2019. Adapun enam tersangka itu yakni A (Pengguna Anggaran), MEP (PPK), L (Bendahara Pengeluaran Sekwan), M (Ketua DPRK Simeulue 2014-2019), IR (Anggota DPRK Simeulue 2014-2019 dan 2019-2024), PH (anggota DPRK Simeulue 2014-2019, Wakil Ketua DPRK 2019 - 2021, anggota DPRK 2021-2024).
"Anggota DPRK aktif satu orang tersangka, yang satu mantan, dan yang satu di PAW kemarin, yang masih aktif satu," kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Aceh, R Raharjo Yusuf Wibisono, dalam keterangan yang diterima, Sabtu (23/7/22).
Ia menjelaskan kalau pada tahun 2019, Sekretaris Dewan Simeulue menganggarkan perjalanan dinas sebesar Rp5,5 miliar, sementara untuk belanja khusus pelatihan sebesar Rp500 juta lebih dengan total semua Rp6,7 miliar. Baca Juga: Jaksa Tahan Satu Tersangka Kasus Dugaan Penyimpangan Dana YPGL
"Kegiatan perjalanan dinas dilaksanakan, namun bukti pertanggungjawaban perjalanan dinas berdasarkan tiket pesawat, bill hotel fiktif dan markup," ujar Raharjo.
Raharjo mengatakan, kasus tersebut semuanya diinisiasi oleh tersangka M, yang merupakan Ketua DPRK Simeulue 2014-2019. Dimana bertempat di ruang kerjanya, M mengarahkan tersangka R (selaku bendahara pengeluaran DPRK Simeulue 2019), yang diketahui oleh tersangka A (PA Sekwan DPRK Simeulue) untuk menghubungi saksi MRL untuk melakukan permintaan penyediaan tiket pesawat dan bill hotel fiktif.
"Adapun biaya untuk pembuatan tiket pesawat dan bill hotel fiktif sebesar Rp 300 ribu untuk setiap orang dalam surat tugas perjalanan dinas luar daerah," ungkapnya.
Ia mengungkapkan kalau biaya pembuatan tiket pesawat dan bill hotel fiktif itu dinikmati oleh saksi MRL, adapun tersangka M dan tersangka IR (anggota DPRK Simeulue 2019-2024) telah melakukan komunikasi dengan saksi MRL untuk menyediakan tiket pesawat dan bill hotel fiktif.
"Kemudian kegiatan khusus pelatihan berupa bimbingan teknik (bimtek) tahun 2019 telah dilaksanakan, namun bukti pertanggungjawaban, berdasarkan keterangan saksi SS (Ketua Umum penyelenggara bimtek) dihubungi oleh tersangka M, tersangka IR dan PH (anggota DPRK Simeulue 2014-2019) untuk membantu membuatkan sertifikat bimtek tanpa ada pelaksanaan bimtek, dengan rincian sebesar Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta," ungkapnya.
Sehingga, kata Raharjo, berdasarkan laporan hasil pemeriksaan BPK RI, ditemukan kegiatan tidak dilaksanakan atau di mark up, yaitu kegiatan konsultasi dan koordinasi ke lembaga dinas provinsi, namun anggaran tetap dibayarkan sebesar Rp2,8 miliar.
"Tidak menutup kemungkinan nanti dalam proses pemberkasan dan pemeriksaan ada tersangka-tersangka berikutnya, tidak berhenti hanya sampai disini, sampai kemudian nanti di persidangan," tegasnya.
Bahkan, kata Raharjo, minggu lalu anggota dewan setelah ada izin gubernur dipanggil semua, hingga saat ini tinggal sekitar enam atau delapan orang yang belum diperiksa, dimana dua orang naik haji, satu orang sakit.
"Tiga nanti kita periksa, yang sakit nanti kita periksa lewat bantuan di Simeulue," ujarnya.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI, Nazaruddin Dek Gam menyorot kasus dugaan SPPD fiktif Anggota DPRK Simeulue.
"Kasus dugaan SPPD fiktif Anggota DPRK Simeulue pak Kajati tolong segera diselesaikan, itu kasus sudah sangat lama," kata Dek Gam.
Menurut Dek Gam kasus tersebut seperti jalan di tempat dan tidak ada kepastian hukum. Seharusnya kasus tersebut tidak digantung dan harus diselesaikan segera.
"Saya menilai dalam kasus ini seperti dipolitisasi. Kenapa demikian, karena anggota DPRK dari partai Bupati Simeuleu tidak ada yang diperiksa, ada apa ini. Ini informasi yang saya dapat dari sana (Simeuleu)," tegas Dek Gam.
Ia meminta Kejati Aceh untuk segera menyelesaikan kasus tersebut. Kalau memang sudah cukup bukti segera tetapkan tersangka, dan kalau memang tidak ada cukup bukti tinggal hentikannya saja.
"Jangan digantung, kasian anggota DPRK Simeulue. Kasus ini saya menilai sudah menjadi senjata untuk membungkam anggota dewan yang kritis terhadap Pemkab Simeulue," ungkap Politisi PAN itu.
Selain itu, Dek Gam juga mengapresiasi kinerja Kejati Aceh dan kejari-kejari seluruh Aceh dalam menyelesaikan kasus melalui Restorative Justice. Menurutnya, melalui keadilan restoratif dengan menggelar pertemuan antara korban dan terdakwa, menjadi terobosan baru dalam menyelesaikan kasus-kasus yang ancaman pidananya tidak terlalu tinggi.
"Tapi jangan semua juga diselesaikan dengan Restorative Justice, bisa bahaya nantinya," ujarnya.
Dek Gam juga meminta kepada masyarakat untuk melaporkan kepadanya apabila ada oknum jaksa yang meminta uang dalam menyelesaikan kasus melalui Restorative Justice.
"Pak Kajati tolong dipantau dan dilihat juga apabila ada oknum jaksa nakal itu harus ditindak. Ini tidak boleh terjadi, bisa mencoreng institusi kejaksaan," tegasnya. [Tp]