telusur.co.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan enam tersangka korupsi dana pensiun di PT Pelindo. Mereka diduga terlibat kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan dana pensiun pada tahun 2013 sampai 2019.
"Selasa 9 Mei 2023, tim penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) telah menetapkan enam orang tersangka yang terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan Dana Pensiun Perusahaan Pelabuhan dan Pengerukan (DP4) di PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Tahun 2013 sampai dengan 2019," tulis Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Selasa (9/5/23).
Ketut merinci, keenam orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka yakni Edi Winoto (EWI) selaku Direktur Utama DP4 periode 2011-2016; Khamidin Suwarjo (KAM) selaku Direktur Keuangan dan Investasi DP4 periode 2008-2014; Ahmad Adhi Aristo (AHM) selaku makelar tanah (pihak swasta); Umar Samiaji (US) selaku Manager Investasi DP4 periode 2005-2019; Imam Syafingi (IS) selaku Staf Investasi Sektor Riil periode 2012-2017; dan Chiefy Adi Kusmargono (CAK) selaku Dewan Pengawas DP4 periode 2012-2017.
Keenam tersangka selanjutnya ditahan untuk 20 hari pertama di sejumlah tempat terpisah. Penahanan dilakukan terhitung sejak hari ini 9 Mei sampai 28 Mei 2023.
"Tersangka EWI, KAM, dan AHM dilakukan penahanan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung. Sedangkan untuk Tersangka CAK, US, dan IS penahanan dilakukan di Rutan Kelas 1 Jakarta Pusat," jelas Ketut.
Diketahui, kasus ini berawal dari pelaksanaan program pengelolaan DP4 yang telah dilakukan investasi pada pembelian tanah serta penyertaan modal pada PT Indoport Utama (IU) dan PT Indoport Prima (IP). Pelaksanaan pengelolaannya terindikasi terdapat dugaan rasuah dan menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp148 miliar.
Modus yang dilakukan pada masing-masing kegiatan antara lain adanya fee makelar dan harga tanah yang di-mark up, sehingga terdapat kelebihan dana yang diterima tim pengadaan tanah pada pembelian tanah di Salatiga, Palembang, Tangerang, Tigaraksa, dan Depok. Selain itu, alih-alih melakukan investasi penyertaan modal ke PT Indoport Utama (PT IU) dan PT Indoport Prima (PT IP) agar uang dapat dikeluarkan, namun pada akhirnya tidak dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Masing-masing tersangka memiliki peranan berbeda. Tersangka EWI berperan menyetujui pembelian tanah tanpa didasari standar operasional prosedur (SOP) dan dengan dalih melakukan penyertaan modal ke PT IU dan PT IP. Padahal dia menjabat sebagai komisaris perusahaan itu, sehingga uang dapat dikeluarkan dan mendapat keuntungan secara tidak sah.
Tersangka KAM, diketahui menyetujui untuk mengeluarkan dana untuk pembelian tanah dan penyertaan modal PT IU dan PT IP yang tidak sesuai dengan SOP, serta mendapat keuntungan yang tidak sah.
Kemudian, tersangka US dan IS telah secara bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum mengusulkan investasi yang tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) dan menerima keuntungan secara tidak sah atas perbuatan tersebut.
Sementara tersangka CAK dinyatakan ikut bersalah karena tidak memberikan saran, pendapat, evaluasi, dan monitoring sesuai arahan investasi dan menerima keuntungan tidak sah atas perbuatan tersebut. Terakhir, Tersangka AHM mendapatkan fee secara tidak sah untuk pembelian tanah di Depok dan Palembang.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.[Fhr]