telusur.co.id - Jurnalis dan analis senior media Israel, Gideon Levy dalam tulisannya di Haaretz mengakui bahwa serbuan ke Jenin mendatangkan hasil yang berlawanan dengan yang diinginkan Israel. Menurutnya, operasi militer itu justru memperkuat “terorisme”, alih-alih membasminya. Selain itu, imbuhnya, serbuan ke kamp tersebut tidak mungkin bisa dilakukan tanpa pembantaian massal.
Laman Rai al-Youm menyatakan bahwa pandangan ini secara praktis menunjukkan pengakuan Israel akan kegagalan, kebingungan, dan kepanikannya, juga mengungkap dalamnya krisis yang dihadapi Kabinet ekstremis bentukan Benjamin Netanyahu.
“Sebab (Kabinet ini) tidak menemukan cara untuk membalas dendam kepada orang-orang Palestina, juga tidak bisa memenuhi tuntutan mayoritas masyarakat Israel yang menghendaki kembalinya rasa aman; sesuatu yang sebelum ini dijanjikan oleh partai-partai dalam Kabinet ini saat kampanye dahulu,” tulis Rai al-Youm.
Levy dalam tulisannya menyatakan bahwa Tentara Israel sudah berbulan-bulan membunuhi warga Palestina dan menegaskan tindakan ini pasti harus dibayar mahal.
“Apa yang kalian (orang Israel) pikirkan? Apakah pembunuhan 146 orang Palestina di tahun lalu akan dibiarkan begitu saja? Apakah dengan membunuh sekitar 30 orang Palestina sejak bulan (Januari) ini akan disikapi dengan tenang begitu saja? Apakah kalian berpikir bahwa warga di kamp pengungsi di Shu’fat, yang siang malam dihina dan direndahkan serta martabat mereka diinjak-injak, akan menyambut serdadu dan polisi Israel dengan pelukan hangat?” tulis Levy ditujukan kepada orang-orang Israel.
“Kita akan terus dihantui oleh Intifada III. Sebab itu, segala bentuk operasi balasan dari Israel pasti akan kian memanaskan situasi. Di saat bersamaan, keputusan Pemerintah Israel untuk menjatuhkan sanksi dan hukuman kolektif terhadap orang-orang Palestina demi memuaskan dahaga kelompok sayap kanan radikal, juga akan memperluas konflik dan membuka pintu untuk terjadinya sebuah ledakan besar”, pungkas Levy. [Tp]