Telusur.co.id - Oleh : Dr. Ahmad Zain Sarnoto, penulis adalah Dosen Tetap Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta dan Direktur Lembaga Kajian Islam dan Psikologi (eLKIP)
RAMADHAN telah berakhir, dengan setumpuk kenangan, masih terngiang hari-hari penuh dengan semangat membaca Al-Qur’an, sholat, berzikir, berinfak serta amalan lainnya.
Kini itu semua tinggal kenangan, ramadhan telah berlalu, pergi meninggalkan kita dan masih dalam suasana wabah pandemi covid-19, jika ditahun sebelumnya, ketika ramadhan berakhir dan masuknya syawal menjadi hari yang menggembirakan karena berhasilkan umat Islam menjalankan tugas spiritualnya dengan ibadah puasa.
Namun, tahun ini lebaran 1 Syawal seolah “hampa”, walaupun pemerintah daerah khsususnya kota bekasi, telah memberikan izin melakukan sholat ied fitri di sebagian kelurahan, tetapi sebagian masyarakat justru kuatir akan menjalarnya wabah covid-19 ditengah pelaksanaan sholat Iedul Fitri.
Ini semua salahnya corona, takbiran keliling di malam lebaran, dari gang-gang dan jalan-jalan yang biasanya ramai ditiadakan, sehingga anak-anak yang biasa berekspresi meluapkan kegembiraan lebaran menjadi sirna.
Ini semua salahnya corona, masjid dan lapangan yang bisa digunakan sholat iedul fitri sepi, kalaupun ada semua dalam kekuatiran, sehingga sholat idul fitri dirumah dengan imam dan khotib dadakan, para ayah/bapak yang bisa jadi baru terjadi selama hidup.
Ini semua salahnya corona, kita tidak bisa lebaran bersama keluarga, tetangga, teman dan sahabat untuk saling bersalaman, bahkan tidak bisa mudik lebaran,padahal lebaranlah moment berkumpul dan berbahagia dengan bersama mereka.
Ini semua salahnya corona, jalan-jalan disemua sudut kota, kabupaten dan provinsi macet termasuk tol, karena semangat lebaran, sekarang sepi, pemeriksaan dimana-mana, ribuan mobil dan motor yang mudik lebaran dihalau untuk putar balik ke rumah masing-masing.
Ini semua salahnya corona, kue-kue lebaran yang biasanya tersedia bermacam-macam jenis di setiap meja rumah-rumah penduduk, kini tidak tersedia bahkan rumah-rumahpun “tertutup” untuk dikunjungi.
Ini semua salahnya corona, hotel dan tempat wisata tutup, sehingga tidak bisa berlebaran bersantai dan berlibur menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta, padahal sudah berbulan-bulan menabung mengumpulkan uang untuk liburan masa lebaran.
Ini semua salahnya corona, para penjual baju lebaran menjadi sepi pembeli, karena takut tertular, padahal para pedagang bisa merauk untung besar saat lebaran.
Ini semua salahnya corona, para artis yang biasa manggung live di televisi nasional dengan kontrak mahal yang mancapai “jutaan” rupiah, dengan berdandan rapi seperti “para santri” yang berpenampilan Islami sesaat. Gara-gara corona semua media mengikuti kebijakan pemerintah untuk membatasi kerumunan, sehingga bisa jadi “kontrak” jutaan bahkan milyaran para artis untuk manggung saat lebaran di batalkan.
Ini semua salahnya corona, para penyanyi yang telah menciptakan lagu khusus lembaran dan siap manggung dengan konsernya, harus batal karena penontonnya takut tertular virus, sehingga pendapatan penyanyipun menurun.
Ini semua salahnya corona, para buruh di PHK padahal berharap mendapat THR saat lebaran, maka pengangguran dimana-mana, jangankan THR untuk makan sehari-hari saja sulit, buruh kehilangan pekerjaan dan pemilik perusahaan kehilangan omset.
Ini semua salahnya corona, para dokter dan tenaga medis lainnya, saat lebaran tiba masih harus berkutat mengurus pasein covid-19 dengan protokoler yang ketat, padahal mereka mempunyai keluarga yang menanti dirumah saat lebaran tiba.
Ini semua salahnya corona, barangkali kalimat inilah yang paling mewakili ungkapan sebagian masyarakat saat menyambut lebaran di tengah pandemi covid-19.