telusur.co.id - Pemilihan calon presiden dan wakil presiden masih kira-kira tiga tahun lagi. Namun, pertempuran opini para calon di media massa maupun melalui spanduk di jalan umum tidak dapat terbendung.
Pengamat politik Ray Rangkuti menyebut, ada dua tipe capres 2024 yang akan datang, pertama capres berbasis baliho, dan capres berbasis kinerja. Capres berbasis baliho, secara umum, ditandai dengan Partai Elit, berada di lingkaran kekuasaan (selain AHY). Sedang di jabatan publik
" Umumnya tidak menonjol dengan prestasi di jabatan dan ide mereka, 5. Popularitas dan elektabilitas masih di bawah 10%," terang Ray saat berbincang dengan redaksi, Selasa (10/8/2021).
Sedangkan capres kinerja, secara umum, ditandai dengan umumnya dari kepala daerah, sekalipun begitu tetap ada tokoh non kepala daerah (independen) yang muncul. Sebut saja nama seperti Rizal Ramli, dan sebagainya.
Keputusan mereka dapat mengubah daerah yang mereka pimpin, penuh dengan ide, bukan elit di lingkaran partai politik.
"Popularitas dan elektabilitas telah mencapai 2 digit, " paparnya.
Menurut Ray, capres baliho adalah pilihan paling realistis dan pragmatis disebabkan beberapa hal, yaitu miskin ide perubahan dan prestasi kinerja politik, setidaknya selama mereka menjabat di jabatan publik. Terhambat langkah karena berada di dalam kekuasaan. Memiliki infrastruktur yang dapat digerakkan untuk melakukan hal ini.
"Sebagain pemilih masih mendasarkan pilihan pada pesan-pesan simbolik dari pada subtansi, " tambahnya.
Tentu saja, pemasangan baliho dalam situasi seperti ini sambung aktivid 98 itu, tidak patut. Bahkan jauh dari patut. Sebab, jika dalam kondisi normal sekalipun, pemasangan baliho yang menjelajahi sudut kota di seluruh Indonesia tetap layak dikritis. Apalagi dalam kondisi seperti saat ini.
Pemasangan baliho itu sekaligus menunjukan miskinnya empati. Padahal, sejatinya, empati adalah modal utama pemimpin merasakan derita, keluhan, situasi sulit yang dialami oleh rakyat. Maka pemasangan baliho itu menunjukan betapa jarak psikologis dan sosial para capres-capres ini begitu jauh dengan kondisi ril masyarakat.
Masyarakat sedang sulit makan, kehilangan pekerjaan, ekonomi morat marit, dan dihadapkan dengan serangan wabah covid, tapi capres-capres baliho malah sibuk menyodorkan baliho foto mereka. Tidak ada ide, gerakan dan langkah yang kiranya memastikan bahwa seluruh derita masyarakat ini dapat diselesaikan.
Langkah mereka minimalis tentu dikaitkan dengan jabatan yang mereka emban. Tidak ada himbauan keras agar vaksinasi dilakukan secepat mungkin misalnya, memastikan seluruh anggota partai, khususnya yang menjabat baik di eksekutif maupun dilegislatif untuk mencegah agar dana covid dan dana negara lain tidak dikorup, agar mafia yang terkait dengan penanganan covid diberantas.
""Hampir tidak kita dengar. Mereka miskin empati derita rakyat, tapi nafsu berkuasa besar, " tegasnya.
Disinggung soal calon di luar parpol diakuinya, secara aturan, memang agak sulit. Ketentuan Presidential Treshold itu menyulitkan capres-capres non partai bisa berbuat banyak. Padahal, dari segi kinerja, prestasi dan pengalaman pun rekam jejak, keberadaan mereka cukup memukau. Justru di sinilah masalahnya. Capres-capres yang berbasis kinerja sulit mendapatkan dukungan administratif dari parpol.
Akibatnya, capres-capres yang muncul adalah mereka yang membuat baliho bertebaran di mana-mana, tanpa jelas apa visi dan misinya.
"Rizal Ramli misalnya, dua kali pernah jadi menteri, kinerja cukup memuaskan dan membekas. Di era Gus Dur dahulu, di tangannya bersama Kwik Kian Gie ekonomi membaik paska diguncang resesi tahun 98. Di era Jokowi, beliau dikenal sebagai menteri dengan jurus kepret, " kata Ray.
Aksi memukau dalam hal mencegah mafia di dunia ekonomi kita. Tapi, jejak ini akan sulit mendapat tempat di parpol yang justru punya kecenderungan mendukung capres minus prestasi. Jadi harapan yang terbuka adalah Presidential Treshold.
Sementara itu, pengamat politik Ujang Komarudin menyebut peluangnya masih sama. Karena semua capres dan cawapres belum memiliki elektabilitas yang tinggi. Semuanya masih di bawah 20%.
"Jadi belum bisa melihat siapa yang akan menang. Saat ini sedang gas poll membangun pencitraan guna mengerek elektabilitasnya," bebernya.