Bima Arya Tak Usah Salahkan Sistem Zonasi PPDB, Harusnya Tegur Jajaran Sendiri - Telusur

Bima Arya Tak Usah Salahkan Sistem Zonasi PPDB, Harusnya Tegur Jajaran Sendiri

Wali Kota Bogor saat melakukan inspeksi mendadak. Foto: ANTARA

telusur.co.id - Walikota Bogor, Bima Arya, mengumumkan ke publik bahwa telah terjadi manipulasi data kependudukan di wilayahnya untuk kepentingan mendaftar PPDB jalur zonasi. Bahkan, Bima Arya datang sendiri ke rumah rumah warga yang KK-nya dipermasalahkan.

Atas kejadian itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyampaikan, Kemendikbudristek menerapkan kebijakan PPDB Sistem zonasi sudah  sejak 2017 atau sudah berlangsung 7 tahun lalu. 

"Awalnya beragam permasalahan kependudukan dan penyebaran sekolah yang tidak merata menjadi persoalan tertinggi, namun seiring dengan waktu hal tersebut sedikit demi sedikit dapat diatasi dengan baik oleh sejumlah daerah, diantaranya memperkuat sistem di Dukcapil agar tidak terjadi manipulasi terkait data kependudukan," kata Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, dalam keterangannya, Senin (10/7/23).

Menurut Retno, jika Kota Bogor masih mengalaminya, maka seharusnya Kepala Daerah mengevaluasi jajaran kelurahan, kecamatan dan Dukcapil, yang jelas di bawah kewenangan Kepala Daerah. 

"Bukan menyalahkan sistem PPDB Zonasinya yang sudah 7 tahun dan sudah mulai diterima luas di masyarakat," tuturnya.

Retno menilai, Kepala Daerah dapat menjatuhkan sanksi pada jajarannya jika ditemukan manipulasi data kependudukan, yang melibatkan jajaran birokrasi. 

"Seharusnya masalah klasik seperti ini sudah dapat diatasi selama 5 tahun menjabat. Karena kelurahan, kecamatan dan dinas Dukcapil merupakan anak buah langsung kepala daerah," ungkapnya.

Selanjutnya, setelah 7 tahun PPDB Zonasi diterapkan, sejumlah kepala daerah sudah menambah jumlah sekolah negeri. Misalnya, Kota Bekasi menambah 7 SMPN, Kota Tangerang menambah 9 SMPN, Kota Pontianak,  menambah 1 SMAN, Kota Depok, menambah 1 SMAN, DKI Jakarta menambah 10 SMKN, dan lain-lain. 

Hal tersebut dilakukan karena para Kepala Daerah sadar bahwa sekolah negeri tidak banyak dan tidak merata penyebarannya, terutama SMP, SMA dan SMK. Kalau SDN jumlah relatif terpenuhi. 

"Yang menyadarkan para Kepala Daerah menambah jumlah sekolah negeri adalah setelah kebijakan PPDB Zonasi. Membangun sekolah negeri baru juga dapat dijadikan ukuran kesungguhan kepala daerah untuk memenuhi hak atas pendidikan warganya, yang tentu saja ada pemilihnya," ucapnya.

Pemerintah Pusat melalui APBN juga menganggarkan pembangunan sekolah negeri jika pemerintah daerah mengusulkan dan memiliki lahan yang sesuai standar nasional pendidikan. 

Pemerintah pusat hanya membangunkan gedungnya, tanahnya harus disediakan pemerintah daerah. Ini bentuk kolaborasi yang sangat patut didukung. 

Retno menjelaskan, sebelum PPDB sistem zonasi diterapkan di Indonesia, jumlah sekolah negeri masih minim dan penyebarannya tidak merata. Saat PPDB sistem zonasi diterapkan, selain menambah jumlah sekolah bila memungkinkan, maka sejumlah daerah menginisiasi berbagai cara untuk memenuhi hak atas pendidikan.

Contoh, Pemprov DKI Jakarta menerapkan PPDB bersama SMA dan SMK swasta yg pembiayaan peserta didik baru hingga lulus dicover melalui APBD. Pemprov Sumatera Utara menerapkan zonasi khusus bagi calon peserta didik baru yang di zona tempat tinggalnya tidak ada sekolah negeri. 

"Ketika sudah 7 tahun penerapan kebijakan PPDB sistem zonasi, banyak kepala daerah melalui dinas dinas pendidikan memutar otak untuk meminimalkan masalah, potensi kecurangan dan juga minimnya sekolah negeri," kata Retno. 

"Apalagi saat ini mayoritas publik sudah dapat menerima PPDB sistem zonasi, meski ada kekurangan, namun diakui bahwa sistem ini jauh lebih berkeadilan dan mendorong pemerintah pusat dan daerah membangun sekolah negeri baru tanpa membunuh sekolah swasta yang sudah adalah sudah berkontribusi lama bagi pendidikan selama ini," tukasnya.[Fhr]


Tinggalkan Komentar